Terjemah Al-Qur'an : Sejarah, Pengertian, macam-macam dan syarat-syarat penerjemah



A. Sejarah Terjemah Al-Qur’an

        Penerjemahan Alquran secara lengkap pertama kali dilakukan pada 884 M di Alwar, Pakistan. Terjemahan Alquran tersebut dibuat atas perintah Khalifah Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz. Saat itu, penguasa Hindu Raja Mehruk memohon agar kitab suci umat Islam itu diterjemahkan. Selanjutnya pada tahun 1135 M Al-Qur’an mulai diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin untuk keperluan kepala Biara Clungny yang berkunjung ke Toledo pada abad ke-12 yang bertujuan untuk menandingi kegiatan intelektual keilmuan Islam yang berkembang pada saat itu, terutama di kota Andalus. Terjemahan ini dilakukan oleh Robert of Ketton dan selesai pada bulan Juli 1143. Salinan terjemahan tersebut hanya dimiliki oleh pihak gereja untuk dipelajari dan tidak diizinkan dicetak di luar gereja selama empat abad lamanya. Itu bertujuan agar umat Kristen tidak memiliki kesempatan mempelajari Alquran terjemahan sehingga tidak akan ada penganut Kristen yang murtad dari agamanya.

        Pada pertengahan abad ke-16, tepatnya pada tahun 1543 M terjemahan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Robert of Ketton mulai diterbitkan di Basle oleh seseorang yang berkebangsaan Swiss yaitu Theodor Bibliande. Dari terjemahan Al-Qur’an yang Bahasa Latin inilah, kemudian Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam berbagai Bahasa Eropa seperti Afrika, Persia, Turki, Urdu, Tamil, Benggali, Jepang dan berbagai Bahasa di kepulauan Timur. Indonesia juga tidak ketinggalan dalam menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Melayu sejak pertengahan abad ke-17. Upaya ini dilakukan oleh seorang ulama dari Singkil, Aceh bernama Abdul Ra'uf Fansuri. Meski terjemahannya kurang sempurna dari tinjauan ilmu bahasa Indonesia modern, Abdul Ra'uf Fansuri bisa dikatakan sebagai tokoh perintis penerjemahan Alquran berbahasa Indonesia. Sejak saat itu, semakin banyak Alquran terjemahan yang diterbitkan di Indonesia.

B. Pengertian Terjemah

        Kata terjemah ditinjau dari segi Bahasa (etimologi) adalah berasal dari Bahasa Arab yaitu tarjama yang memiliki arti menerangkan dan menafsirkan dengan Bahasa yang lain. Adapaun terjemah dari segi istilah (terminologi) adalah mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, tanpa menerangkan makna bahasa asal yang diterjemahkan.

        Adapun terjemah Al-Qur’an adalah memindahkan Al-Qur’an pada bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemahan tersebut ke dalam beberapa naskah agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak dapat berbahasa Arab sehingga ia bisa memahami maksud kitab Allah swt dengan perantara terjemah

C. Macam-Macam Terjemah

    Terjemah al-Qur’an terbgai menjadi 2 yaitu :

1. Terjemah Harfiyah atau Lafdiyah

Terjemah harfiyah, yaitu terjemah yang dilakukan dengan bergantung pada susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Al-Dzahabi dalam tafsir wal mufassirun membagi terjemah lafdiyah tersebut menjadi dua yaitu :

a. Terjemah harfiyah bi al-mitsl

Yaitu terjemah yang dilakukan apa adanya, terikat dengan susunan dan bahasa asal yang diterjemahkan

b. Terjemah harfiyah bigair al-mitsl

Yaitu terjemah yang pada dasarnya sama seperti terjemah yang pertama. Namun, terjemah bigair al-mitsl ini lebih longgar keterangannya daripada susunan dan struktur bahasanya

2. Terjemah Tafsiriyah atau Maknawiyah

    Terjemah tafsiriyah adalah terjemahan yang dilakukan oleh mutarajim (penerjemah) dengan lebih mengutamakan maksud atau isi yang terkandung dalam bahasa asal yang diterjemahkan Sehingga, dapat disimpulkan bahwa jika terjemah harfiyah adalah menerjemah suatu teks kebahasa yang lain dengan cara menitikberatkan dengan struktur Bahasa. Sedangkan terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawi sama persis dikatakan dengan istilah terjemah dengan terjemah bebas yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan dari yang diterjemahkan.

D. Perbedaan dan Persamaan antara Terjemah Tafsiriyah dan Tafsir

Terdapat beberapa perbedaan antara terjemah tafsiriyah dan tafsir, diantaranya yaitu :

1. Perbedaan Bahasa. Bahasa tafsir sering menggnakan Bahasa yang sama, sedangkan terjemah tafsiriyah menggunakan Bahasa yang berbeda.

2. Pembaca karya Tafsir bisa memperhatikan rangkaian dan susunan teks asli, sehingga dia bisa menemukan kesalah-kesalahan yang ada dan meluruskannya. Sedangkan pembaca erjemah Tafsiriyah tidak bisa menemukan kesalah-kesalahan dan meluruskannya, karena dia tidak mengetahui rangkain dan susunannya bahkan kesan yang ada bahwa apa yang di abaca adalah tafsir atau arti yang benar terhadap Al-Qur’an.

Adapun persamaan antara terjemah tafsiriyah dan tafsir adalah keduanya sama-sama bertujuan untuk menjelaskan. Terjemah tafsir menjelaskan menjelaskan makna dari Bahasa yang tidak

dipahami dengan menggunakan Bahasa lain, sedangkan tafsir menjelaskan sesuatu yang sulit dipahami menjadi mudah untuk dipahami.

E. Syarat-Syarat Penerjemah

    Seorang penerjemah Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat berikut :

1. Penerjemah haruslah seorang muslim, sehingga tanggung jawab keislamannya dapat dipercaya

2. Penerjemah haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya, seorang fasik tidak diperkenankan menerjemahkan Al-Quran

3. Menguasai bahasa sasaran dengan teknik penyusunan kata. Ia harus mampu menulis dalam bahasa sasaran dengan baik

4. Berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran Al-Quran dan memenuhi kriteria sebagai mufassir, karena penerjemah pada hakikatnya adalah seorang mufassir

5. Penerjemah harus menguasai dua Bahasa, yaitu bahasa asli (bahasa sumber) dan bahasa terjemahan

6. Menguasai gaya bahasa dan keistimewaan dari kedua bahasa tersebut

F. Hukum Terjemah Al-Qur’an

Dilihat dari pembagian terjemah baik terjemah harfiyah maupun terjemah tafsiriyah terdapat hukum yang berbeda yaitu :

1. Terjemah harfiyah. Hukum terjemah harfiyah ini tidaklah haram namun juga tidak diperbolehkan karena memang Al-Qur’an adalah mukjizat dari Allah SWT dengan lafal dan maknanya serta membacanya merupakan sebuah ibadah. Akan tetapi terjemah harfiyah sendiri sangat tidak mungkin terjadi karena Al-Qur’an diturunkan dengan tujuan untuk membenarkan Nabi Muhammad dengan risalah yang dibawanya, sehingga andaikan Manusia dan jin tidak bisa menandingi Bahasa Al-Qur’an. Tidak diperbolehkannya terjemah harfiyah ini karena ada beberapa faktor seperti :

a. Tidak boleh menulis Al-Qur'an dengan selain huruf-huruf bahasa Arab, hal ini dimaksudkan agar tidak menjadi penyalahgunaan dan perubahan arti

b. Meringkas lafal-lafal bahasa Arab akan memungkinkan kerusakan arti yang menyebabkan cacat dalam redaksi dan susunan

2. Terjemah tafsiriyah. Hukum terjemah tafsiriyah ini diperbolehkan dan tidak dilarang oleh para Ulama, bahkan diwajibkan kepada seluruh orang Islam agar mereka bisa menyampaikan dakwah Al-Qur’an, karena tanpa adanya terjemah semacam ini manusia tidak akan bisa mengetahui kebesaran syari'at, keindahan agama dan keelokan Al-Qur'an. Akan tetapi terjemahan semacam ini tidak boleh dinamakan Al-Qur'an tetapi dinamakan “Tafsir Al-Qur'an”. Sehingga hukum membacanya tidak termasuk ibadah

G. Metode Menterjemhkan Al-Qur’an

    Metode menterjemahkan Al-Qur’an tentunya berbeda dengan menterjemahkan teks biasa. Seorang penerjemah Al-Qur’an harus mengetahui tahapan-tahapannya yaitu :

1. Mengetahui huruf-huruf tambahan pada awal dan akhir kalimat seperti huruf nun pada jamak mudzakar salim atau alif dan ta pada jamak muannas salim

2. Mengetahui makna kata sambung seperti huruf ‘athaf, huruf jer, ‘amil nawasikh dan lain-lain. Untuk bisa mengetahui kata sambung tersebut, bisa kita lihat pada kitab-kitab nahwu

3. Harus mengetahui bentuk (sighat) kalimat, apakah fi’il madi, mudore’, amar dan lain sebagainnya

4. Mengetahui arti dasar (aslul wahid) kata pada setiap kalimat, sehingga ketika kata tersebut mengalami perubahan kitab bisa menyesuaikan maknanya.

H. Urgensi Terjemah Al-Qur’an dalam Pendidikan Agama Islam

    Al-Qur’an diterjemahkan dalam berbabagai Bahasa termasuk Bahasa Indonesia dengan tujuan agar umat islam yang tersebar ke seluruh penjuru dunia dapat memahami isi dan kandungan Al-Qur’an. Terjemah Al-Qur’an juga dapat membantu para penghafal Al-Qur’an dalam menghafal ayat-ayatnya serta memudahkan untuk memahami kandungan isi dalam Al-Qur’an. Selain itu terjemah Al-Qur’an juga dapat menambah kosa kata seorang muslim tentang Bahasa Arab dan memudahkan penceramah saat menjelaskan kandungan Al-Qur’an kepada audiens


Refrensi

https://www.republika.id/posts/32430/kilas-sejarah-terjemah-alquran

https://www.hakim-el.com/2022/06/pengertian-dan-macam-macam-terjemah-al.html

https://www.fatwapedia.com/2020/11/hukum-menterjemah-al-qur-dan-syarat.html

Pengertian Qir'at. Sejarah dan macam-macam qiro'at

 

A.  Pengertian Qiro’at

Secara etimologi qira’at merupakan bentuk (masdar) dari kata kerja qara’a (membaca). Sedangkan secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama antara lain.

1.   Menurut Al-Zarkasyi Qira’at adalah perbedaan cara-cara melafalkan Al-Qur’an, baik mengenai huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut seperti takhfif (meringankan), tasqil (memberatkan) atau yang lainnya.

2.   Menurut Ibnu al-Jazari Qira’at adalah ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbahkan kepada penukilnya

3.   Menurut Al-Shabuni Qiraat adalah suatu mazhab cara melafalkan Alqur’an yang dianut oleh salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw.

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa qira’at berkisar pada dua hal: pertama, qira’at berkaitan dengan cara melafalkan Al-Qur’an yang dilakukan oleh seorang imam dan berbeda dengan imam lainnya. Kedua, cara melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pada riwayat yang mutawatir dari Nabi saw

B.  Sejarah Ilmu Qiro’at

1.   Latar Belakang Secara Historis

Qira’at sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi saw., walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan suatu disiplin ilmu, karena perbedaan para sahabat melafazkan Al-Qur’an dapat ditanyakan langsung kepada Nabi saw., sedangkan Nabi tidak pernah menyalahkan para sahabat yang berbeda, sehingga tidak fanatik terhadap lafaz yang digunakan atau yang pernah didengar Nabi. Artinya pada masa Nabi lafal-lafal Al-Qur’an yang diucapkan oleh para sahabat berbeda-beda, akan tetapi Rasulullah dengan bijak tidak menyalahkan para sahabat dan memberi jawaban yang sama yaitu Al-Qur’an diturunkan tujuh huruf.

2.   Latar Belakang Cara Penyampaian

Setelah para sahabat tersebar diberbagai daerah, maka mereka membacakan qira’at Al-Qur’an kepada murid-muridnya secara turun temurun. Pada akhirnya murid-murid lebih suka mengemukakan qira’at gurunya dari pada mengikuti qira’at imam-imam yang lain. Hal ini mendorong beberapa ulama merangkum beberapa bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut :

a.   Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat

b.   Perubahan pada I’rab dan harakat, sehingga dapat merubah maknanya

c.   Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisan, sedang makna berubah

d.   Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisan, tapi makna tidak berubah

C.  Macam-Macam Qiro’at

1.     Segi Kuantitas

a.     Qira’at Sab’ah (qira’at tujuh) yaitu qira’at yang disandarkan kepada imam qira’at yang tujuh mereka adalah Abdullah al-Katsir al-Dari, Nafi’ bin Abdrrahmana bin Abi Naim, Abdullah al-Yasibi, Abu Amar, Ya’kub, Hamzah dan Ashim

b.     Qira’at Asyarah (qira’at sepuluh), yaitu qira’at tujuh ditambah tiga ahli qira’at yaitu Yazid bin al-Qa’qa al-Maksumi al-madani, Ya’kub bin Ishak dan Khallaf bin Hisyam

c.     Qira’at Arba’ah Asyarah (qira’at empat belas), yaitu qira’at sepuluh ditambah empat imam qira’at yaitu Hasan Basri, Muhammad bin Abdul Rahman, Yahya bin al-Mubarak dan Abu al-Farj Muhammad bin Ahmad asy-Syambusy.

2.     Segi Kualitas

a.     Qira’at mutawatir yaitu qira’at yang disampaikan oleh sekolompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad tidak mungkin sepakat untuk berdusta.maka sebagian ulama sepakat yang termasuk dalam kelompok ini adalah qira’ah sab’ah, qira’at asyarah, dan qira’at arba’ah asyarah.

b.     Qira’at masyhur yaitu, qira’at yang memiliki sanad yang shahih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, hanya sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan tulisan mushaf usmani.

c.     Qira’at ahad yaitu, qira’at yang memiliki sanad shahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf usmani dan kaedah bahasa Arab

d.     Qira’at syadz yaitu qira’at yang sanadnya tidak shahih

e.     Qira’at yang menyerupai hadis mudraj (sisipan) yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran

D.  Syarat-Syarat Sahnya Qiro’at

Para ulama menetapkan tiga syarat untuk mengetahui apakah qira’at itu benar atau tidak yaitu :

1.   Sesuai dengan kaidah bahasa Arab

2.   Sesuai dengan mushaf Usmani

3.   Sanad-sanadnya shahih

Apabila suatu qira’at tidak memenuhi salah satu diantara tiga syarat tersebut, maka qiraat tersebut tidak sah atau lemah.

E.  Pengaruh Qiro’ah Terhadap Istinbat Hukum

1.   Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbath hukum. Contoh firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 222.

Dalam ayat tersebut di atas terdapat perbedaan bacaan pada lafaz yathurna يطهرن  dengan bacaan takhfif yakni disukun huruf tho ( ط) dhamma huruf ha ( ها ) Hamz ah, al-Kissa’i dan ‘Ashim membacanya yaththaharna يطهرن bertasydid huruf tho ( ط dan ha ( ها ( serta menasab kedua huruf tesebut ( ط dan ها). Sedangkan , Ibn Kathir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir menurut riwayat Hafsah membacanya seperti yang tertulis dalam teks tersebut.

Perbedaan bacaan dari ayat di atas menimbulkan perbedaan hukum yang dikandungnya. Bacaan pertama dengan bacaan takhfif lafaz ( يطهرن ) bahwa seorang suami haram hukumnya untuk berhubungan intim dengan istrinya dalam keadaaan haid sampai berhenti haidnya dan mandi. Pandangan ini diperpegangi oleh Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad.

Bacaan kedua dengan tasydid lafaz ( يطهرن ), menurut Imam Abu Hanifah bahwa yang dimaksud dari ayat di atas adalah larangan kepada suami untuk berhubungan intim sampai istrinya suci, artinya berhenti darah haid. Dengan demikian, suami diperbolehkan untuk berhubungan intim dengan istrinya karena telah berhenti haid, meskipun belum mandi.

2.   Perbedaan qira’at yang tidak berpengaruh dalam istinbath hukum. Contoh firman Allah dalam QS. al-Ahzab/33: 49

Dalam ayat di atas terdapat perbedaan bacaan dari lafaz ) من قبل أن تمسوهن ). Jumhur membaca sesuai dengan teks. Sementara Hamzah dan al-Kisa’I membaca min qabli ‘an tumasahunna ) من قبل أن تماسهن ) dengan menambahkan huruf alif dan di dhammah huruf ta ).

Kata lain dalam ayat di atas adalah lafaz ( تعتدونها ) dengan mentasydidkan huruf dal. Jumhur membaca sesuai dengan teks. Sementara Ibnu Katsir, Hamzah, al-Kisa’i, Abu ‘Amer, Ibnu ‘Asim dan Nafi‘ membaca ta‘tadunaha تعتدونها) ) dengan mentakhfifkan huruf dal. Perbedaan qira’at tersebut tidak menimbulkan perbedaan dalam menetapkan hukum, yakni istri yang diceraikan oleh suaminya tidak ada ‘iddah baginya apabila belum digauli (disetebuhi) oleh suaminya yang harus disempurnaan bilangannya

Apakah Menyetubuhi hewan wajib mandi besar ?

Tanda-tanda akhir zaman salah satunya adalah banyaknya perbuatan zina yang terjadi, perbuatan semacam ini tidak hanya sesama manusia namun t...