Pengertian Qir'at. Sejarah dan macam-macam qiro'at

 

A.  Pengertian Qiro’at

Secara etimologi qira’at merupakan bentuk (masdar) dari kata kerja qara’a (membaca). Sedangkan secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama antara lain.

1.   Menurut Al-Zarkasyi Qira’at adalah perbedaan cara-cara melafalkan Al-Qur’an, baik mengenai huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut seperti takhfif (meringankan), tasqil (memberatkan) atau yang lainnya.

2.   Menurut Ibnu al-Jazari Qira’at adalah ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbahkan kepada penukilnya

3.   Menurut Al-Shabuni Qiraat adalah suatu mazhab cara melafalkan Alqur’an yang dianut oleh salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw.

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa qira’at berkisar pada dua hal: pertama, qira’at berkaitan dengan cara melafalkan Al-Qur’an yang dilakukan oleh seorang imam dan berbeda dengan imam lainnya. Kedua, cara melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pada riwayat yang mutawatir dari Nabi saw

B.  Sejarah Ilmu Qiro’at

1.   Latar Belakang Secara Historis

Qira’at sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi saw., walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan suatu disiplin ilmu, karena perbedaan para sahabat melafazkan Al-Qur’an dapat ditanyakan langsung kepada Nabi saw., sedangkan Nabi tidak pernah menyalahkan para sahabat yang berbeda, sehingga tidak fanatik terhadap lafaz yang digunakan atau yang pernah didengar Nabi. Artinya pada masa Nabi lafal-lafal Al-Qur’an yang diucapkan oleh para sahabat berbeda-beda, akan tetapi Rasulullah dengan bijak tidak menyalahkan para sahabat dan memberi jawaban yang sama yaitu Al-Qur’an diturunkan tujuh huruf.

2.   Latar Belakang Cara Penyampaian

Setelah para sahabat tersebar diberbagai daerah, maka mereka membacakan qira’at Al-Qur’an kepada murid-muridnya secara turun temurun. Pada akhirnya murid-murid lebih suka mengemukakan qira’at gurunya dari pada mengikuti qira’at imam-imam yang lain. Hal ini mendorong beberapa ulama merangkum beberapa bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut :

a.   Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat

b.   Perubahan pada I’rab dan harakat, sehingga dapat merubah maknanya

c.   Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisan, sedang makna berubah

d.   Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisan, tapi makna tidak berubah

C.  Macam-Macam Qiro’at

1.     Segi Kuantitas

a.     Qira’at Sab’ah (qira’at tujuh) yaitu qira’at yang disandarkan kepada imam qira’at yang tujuh mereka adalah Abdullah al-Katsir al-Dari, Nafi’ bin Abdrrahmana bin Abi Naim, Abdullah al-Yasibi, Abu Amar, Ya’kub, Hamzah dan Ashim

b.     Qira’at Asyarah (qira’at sepuluh), yaitu qira’at tujuh ditambah tiga ahli qira’at yaitu Yazid bin al-Qa’qa al-Maksumi al-madani, Ya’kub bin Ishak dan Khallaf bin Hisyam

c.     Qira’at Arba’ah Asyarah (qira’at empat belas), yaitu qira’at sepuluh ditambah empat imam qira’at yaitu Hasan Basri, Muhammad bin Abdul Rahman, Yahya bin al-Mubarak dan Abu al-Farj Muhammad bin Ahmad asy-Syambusy.

2.     Segi Kualitas

a.     Qira’at mutawatir yaitu qira’at yang disampaikan oleh sekolompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad tidak mungkin sepakat untuk berdusta.maka sebagian ulama sepakat yang termasuk dalam kelompok ini adalah qira’ah sab’ah, qira’at asyarah, dan qira’at arba’ah asyarah.

b.     Qira’at masyhur yaitu, qira’at yang memiliki sanad yang shahih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, hanya sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan tulisan mushaf usmani.

c.     Qira’at ahad yaitu, qira’at yang memiliki sanad shahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf usmani dan kaedah bahasa Arab

d.     Qira’at syadz yaitu qira’at yang sanadnya tidak shahih

e.     Qira’at yang menyerupai hadis mudraj (sisipan) yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran

D.  Syarat-Syarat Sahnya Qiro’at

Para ulama menetapkan tiga syarat untuk mengetahui apakah qira’at itu benar atau tidak yaitu :

1.   Sesuai dengan kaidah bahasa Arab

2.   Sesuai dengan mushaf Usmani

3.   Sanad-sanadnya shahih

Apabila suatu qira’at tidak memenuhi salah satu diantara tiga syarat tersebut, maka qiraat tersebut tidak sah atau lemah.

E.  Pengaruh Qiro’ah Terhadap Istinbat Hukum

1.   Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbath hukum. Contoh firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 222.

Dalam ayat tersebut di atas terdapat perbedaan bacaan pada lafaz yathurna يطهرن  dengan bacaan takhfif yakni disukun huruf tho ( ط) dhamma huruf ha ( ها ) Hamz ah, al-Kissa’i dan ‘Ashim membacanya yaththaharna يطهرن bertasydid huruf tho ( ط dan ha ( ها ( serta menasab kedua huruf tesebut ( ط dan ها). Sedangkan , Ibn Kathir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir menurut riwayat Hafsah membacanya seperti yang tertulis dalam teks tersebut.

Perbedaan bacaan dari ayat di atas menimbulkan perbedaan hukum yang dikandungnya. Bacaan pertama dengan bacaan takhfif lafaz ( يطهرن ) bahwa seorang suami haram hukumnya untuk berhubungan intim dengan istrinya dalam keadaaan haid sampai berhenti haidnya dan mandi. Pandangan ini diperpegangi oleh Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad.

Bacaan kedua dengan tasydid lafaz ( يطهرن ), menurut Imam Abu Hanifah bahwa yang dimaksud dari ayat di atas adalah larangan kepada suami untuk berhubungan intim sampai istrinya suci, artinya berhenti darah haid. Dengan demikian, suami diperbolehkan untuk berhubungan intim dengan istrinya karena telah berhenti haid, meskipun belum mandi.

2.   Perbedaan qira’at yang tidak berpengaruh dalam istinbath hukum. Contoh firman Allah dalam QS. al-Ahzab/33: 49

Dalam ayat di atas terdapat perbedaan bacaan dari lafaz ) من قبل أن تمسوهن ). Jumhur membaca sesuai dengan teks. Sementara Hamzah dan al-Kisa’I membaca min qabli ‘an tumasahunna ) من قبل أن تماسهن ) dengan menambahkan huruf alif dan di dhammah huruf ta ).

Kata lain dalam ayat di atas adalah lafaz ( تعتدونها ) dengan mentasydidkan huruf dal. Jumhur membaca sesuai dengan teks. Sementara Ibnu Katsir, Hamzah, al-Kisa’i, Abu ‘Amer, Ibnu ‘Asim dan Nafi‘ membaca ta‘tadunaha تعتدونها) ) dengan mentakhfifkan huruf dal. Perbedaan qira’at tersebut tidak menimbulkan perbedaan dalam menetapkan hukum, yakni istri yang diceraikan oleh suaminya tidak ada ‘iddah baginya apabila belum digauli (disetebuhi) oleh suaminya yang harus disempurnaan bilangannya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Ibtida’, Washal dan Waqaf serta pembagiannya

QOLQOLAH, TAFKHIM DAN TARQIQ, GHUNNAH MUSYADDADAH DAN IDGHAM

Pengertian Gharib dan macam-macamnya

Terjemah Al-Qur'an : Sejarah, Pengertian, macam-macam dan syarat-syarat penerjemah

Pengertian Mad dan Macam-macamnya