MAKALAH
PRA ISLAM DAN ISLAMISASI MEMBUMI DI CIREBON
Disajikan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Cirebon Studies
Dosen Pengampu
: Yunita Dwi Jayanti, M.Pd
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN JARAK JAUH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(PJJ PAI)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SIBER SYEKH NURJATI
CIREBON 2024
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebelum lahirnya Cirebon sebagai kota seperti saat ini, Cirebon
adalah sebuah pedukuhan yang berkembang menjadi negeri kemudian menjadi sebuah
kerajaan. Kerajaan Cirebon yang saat ini merupakan bagian dari wilayah
administratif Provinsi Jawa Barat terletak diujung timur Pantai Utara Jawa
Barat dan berbatasan dengan wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah. Batas
wilayahnya adalah sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Brebes, sebelah
selatan berbatasan dengan Kabupaten Kuningan, sebelah barat dengan Kabupaten
Majalengka, dan sebelah utara dengan Kabupaten Indramayu.
Perkembangan Cirebon sebenarnya melalui tahap demi tahap kesejarahan
yang panjang sebelum akhirnya memasuki era Islam. Cirebon sebelum
kekuasaan Islam memimpin adalah dibawah kekuasaan kerajaan Galuh yang berada
dibawah kerajaan besar yaitu Pajajaran. Pada kekuasaan Kerajaan Galuh pengaruh
Hindu-Budha sangat melekat pada kehidupan masyarakatnya. Hal ini terjadi
dikarenakan perdagangan internasional mulai berkembang dan pengaruh Hindu-Budha
lebih dahulu masuk di daratan Nusantara termasuk Cirebon.
Pada tahun 1475-1482 M, kedudukan wilayah Cirebon berada di bawah
kekuasaan Prabu Anggalarang (Tohaan) di Galuh. Prabu Anggalarang adalah ayah
dari Prabu Siliwangi yang kemudian menjadi Raja Pajajaran. Ketika Prabu
Siliwangi berkuasa, daerah Cirebon mulai ramai didatangi para pedagang dari
luar Nusantara. Sekitar abad ke XV M, Pelabuhan Cirebon sudah banyak didatangi
pedagang muslim. Seperti yang dikatakan Tome Pires bahwa Kerajaan Sunda Pajajaran
melarang pedagang muslim terlalu banyak masuk. Pembatasan terhadap masuknya
pedagang muslim ke Cirebon tidak terlalu berjalan lancar, karena pada tahun
1531 sudah banyak orang-orang muslim yang bertempat tinggal di Cirebon.
Hingga pada abad ke XV Cirebon berubah menjadi sebuah Kerajaan
Islam yang berdaulat di Nusantara. Menurut sumber dari manuskrip Babad Cirebon,
Purwaka Caruban Nagai, dan Negara Kertabhumi pendiri Kerajaan Cirebon adalah
Sunan Gunung Jati, seorang tokoh Islam yang dikenal menjadi salah satu anggota
dari Walisongo. Dalam buku Cirebon Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial
dijelaskan adanya pembukaan lahan untuk pemukiman para pedagang muslim sebelum
era Sunan Gunung Jati.
Sebelum Kerajaan Cirebon berdiri di bawah Kekuasaan Sunan Gunung
Jati pada 1479 M, sudah ada pemukiman Islam di Cirebon. Kuwu Cerbon yang diberi
kuasa oleh Raja Pajajaran menggambarkan bahwa tetap ada toleransi kepada para
pedagang Muslim yang menetap di Cirebon hingga akhirnya membaur dengan
masyarakat pribumi. Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Kerajaan Cirebon
di bawah Sunan Gunung Jati di Cirebon yang menyatukan wilayah Pesambangan dan
Lemah Wungkuk di bawah kedaulatan Kerajaan Cirebon.
Menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari, Cirebon dulunya bernama Dukuh
Caruban. Dukuh Caruban adalah dukuh yang dibangun oleh putra mahkota Pajajaran,
Pangeran Cakrabuana/Raden Walangsungsang yang dibantu oleh adiknya Nyai Lara
Santang dan istrinya Nyai Indang Geulis. Pangeran Cakrabuana membuka pedukuhan
atas perintah gurunya, Syekh Nurul Jati/Syekh Datuk Kahfi.
Setelah padukuhan tersebut dipimpin oleh Raden Walangsungsang yang memeluk Islam barulah kemudian Cirebon berangsur-angsur menjadi Islam, bahkan dengan kesungguhanya Raden Walangsungsang kemudian mendirikan kesultanan Cirebon bersama keponakannya Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dari Kesultanan Cirebon kemudian dijaman setelahnya Islamisasi gencar dijalankan di Cirebon, bahkan menembus seluruh daerah pedalaman di Jawa barat dan Banten.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah Kesultanan Cirebon?
2.
Siapa
pendiri Kesultanan Cirebon?
3.
Bagaimana
islamisasi di Cirebon?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
1.
Mengetahui
sejarah Kesultanan Cirebon
2.
Mengetahui
pendiri Kesultanan Cirebon
3.
Mengetahui
islamisasi di Cirebon
D.
Kajian Pustaka
1.
Siti
Zulfah (2018) telah melakukan penelitian dengan judul “Islamisasi Di Cirebon:
Peran Dan Pengaruh Walangsungsang Perspektif Naskah Carios Walangsungsang”. Hasil
penelitian ini menunjukan peran Walangsungsang memberikan pengaruh dalam kegemilangan
Islam di Cirebon
2.
Wahyu
Iryana, dkk (2023) telah melakukan penelitian dengan judul “Budaya Bendawi Pra
Islam di Keraton Cirebon Indonesia”. Hasil penelitian ini menunjukan keberadaan
unsur pra Islam tersebut menandakan bahwa proses akulturasi dan menghargai leluhur
adalah salah satu cara masuknya Islam dengan mudah ke tanah Jawa yang dilakukan
oleh Keraton Cirebon
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Cirebon
1.
Sejarah terbentuknya Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan bercorak
Islam pertama di tanah Sunda atau Jawa Barat.
Sejarah kerajaan yang wilayahnya pernah menjadi bagian dari Kerajaan
Tarumanegara lalu Pajajaran ini didirikan pada abad ke-15 Masehi, tepatnya
tahun 1430. Awalnya, Cirebon merupakan daerah bernama Kebon Pesisir atau Tegal
Alang-Alang. Kerajaan Cirebon dirintis oleh Raden Walangsungsang (Pangeran
Cakrabuana), putra Raja Pajajaran dari Kerajaan Sunda Galuh, yakni Prabu
Siliwangi dengan permaisurinya, Nyai Subang Larang. Dari pernikahan Prabu
Siliwangi dengan Nyai Subang Larang lahir pula Nyai Lara Santang, dan Raden
Kian Santang atau Pangeran Sengara yang merupakan adik dari Raden
Walangsungsang.
Pedukuhan yang dibuka oleh Pangeran Walangsungsang dikenal dengan
nama Lemah Wungkuk. Pedukuhan ini sebenarnya telah dihuni oleh seorang nelayan
bernama Ki Gedheng AlangAlang/Ki Danusela yang kemudian menjadi Kuwu Cerbon
pertama. Lama kelamaan dukuh ini berkembang dan ramai dikunjungi para pedagang
dan berubah nama menjadi Caruban. Syekh Datuk Kahfi juga memberi julukan pada
Pangeran Cakrabuana dengan nama Ki Somadullah. Ki Somadullah ini kemudian
menggantikan Kuwu Cerbon pertama,
Pada saat menjabat sebagai kuwu, Raden Walangsungsang menunjukkan
kecakapannya. Ia mampu memajukan wilayah itu, Cirebon Larang semakin berkembang
melebihi ukuran sebuah desa. Saat itu wilayahnya banyak didatangi oleh para
pendatang dari berbagai suku bangsa. Semakin banyak juga penduduk Cirebon Larang
yang beralih agama dari Hindu (pengaruh Pajajaran di pantai utara Jawa khususnya
di Cirebon dan sekitarnya) ke agama Islam. Bahkan kebesaran wilayah ini pada ujungnya
telah mengungguli wilayah Amparan Jati dimana Muara Jati menjadi pusat
pelabuhan internasionalnya. Lebih dari itu wilayah Amparan Jati kemudian
menjadi bagian dari Cirebon Larang.
Wilayah Cirebon Larang telah lengkap untuk membentuk kerajaan, maka Prabu Siliwiangi segera mengirimkan utusannya yang bernama Jagabaya (Perwira Angkatan Perang Pajajaran) serta Raja sengara (Kian Santang), adik bungsu Walangsungsang untuk menobatkan Raden Walangsungsang sebagai raja daerah dengan gelar Tumenggung Sri Mangana Cakrabuana. Dengan demikian, maka mulai saat itu, status Pakuwuan Cirebon berubah menjadi Kerajaan di bawah kekuasaan Pajajaran.
2.
Kejayaan Kesultanan Cirebon
Pada masa Raden Walangsungsang dengan segala kualitas kepemimpinan
dan usahanya, beliau berhasil mengembangkan wilayah Lemah Wungkuk ini. Perluasan
wilayah ini yang terus berlanjut secara otomatis berimplikasi terhadap semakian
beragamnya penduduk berikut budaya dan tradisinya. Artinya, dari sisi budaya,
heterogenitas penduduk awal ini menjadi landasan sejarah yang kokoh bagi
berkembangnya budaya di wilayah yang nantinya bernama Caruban Nagari yaitu
negeri dimana beragam suku bangsa dan budaya serta agama bertempat tinggal.
Dengan semakin penting dan strategisnya posisi pelabuhan Cirebon dalam jaringan
pelayaran dan perdagangan internasional dan regional di wilayah pesisir pantai
utara pulau Jawa, Cirebon menjadi salah satu pusat transmisi ilmu pengetahuan dan
budaya merkantilisme saat itu. Tidak heran, jika banyak artifak-artifak yang
bisa ditemukan dan menunjukan akan kompleksitas kebudayaan dan peradaban yang
singgah dan berkembang di wilayah Cirebon mulai dari kesenian, tradisi
keagamaan, produk ekonomi dan kuliner. Beberapa diantaranya bahkan bertahan
sampai sekarang seperti batik, kesenian brai, nasi lengko dan lain sebagainya.
Cirebon sebagai kekuatan politik baru di bagian barat pulau Jawa
mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah yang merupakan keponakan Raden Walangsungsang untuk menggantikan
posisi sebagai penguasa Cirebon. Sunan Gunung Jati berhasil melanjutkan program
perluasan wilayah dari pamannya. Secara geografis, perluasan wilayah mencakup
seluruh wilyah pesisir utara, pedalaman, wilayah selatan hingga ujung barat
pulau Jawa yaitu wilayah Banten.
Perluasan wilayah yang massif oleh Sunan Gunung Jati bahkan sampai
harus berhadapan dengan penguasa utama wilayah Jawa Barat yaitu Kerajaan Pajajaran.
Di awali oleh pernyataan penolakan untuk sumpah setia kepada raja Pajajaran dan
pengalihan kesetiaan ke Kerajaan Islam Demak, Sunan Gunung Jati melakukan
perlawanan terhadap Kerajaan Pajajaran. Selanjutnya melalui serangkaian
peperangan dan penaklukan, Sunan Gunung Jati tidak saja merebut semua wilayah
yang dulunya dikuasai oleh Kerajaan Pajajaran, tetapi sekaligus juga mengikis
pengaruh Pajajaran, sebelum Kerajaan Hindu tersebut benar-benar jatuh pada
tahun 1579 atau 11 tahun setelah wafatnya Sunan Gunung Jati. Singkatnya, di
bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati dan menurunnya pengaruh Kerajaan
Pajajaran, Cirebon pada abad ke 16 berhasil menjadi penguasa tunggal wilayah
bagian barat pulau Jawa, sebelum Sunan Gunung Jati sendiri mengangkat putranya
Sultan Maulana Hasanudin sebagai penguasa Kerajaan Banten.
3.
Ragam Sosial-Budaya Masyarakat Cirebon
Cirebon yang terletak di perbatasan antara dunia Sunda dan dunia
Jawa yang disebut sebagai kota persilangan budaya yang cukup bertahan hingga
sekarang. Telah disebutkan dalam karya Denys Lombard, suku Sunda pada tahun
1980 bahwa meningkatnya suku Sunda ketika itu 27 juta orang, bangga akan
identitas mereka dan jarang dianggap sebagai orang Jawa. Tetapi bagi sebagian
masyarakat Cirebon khususnya ketika ditanya orang Cirebon tidak mengakui dari
suku Jawa maupun Sunda, mereka menyebutnya asli Cirebon. Asal kata Cirebon di
sini diidentifikasi sebagai budaya asli Cirebon yang terdiri dari peleburan dua
budaya yaitu Jawa dan Sunda. Corak budaya dalam perspektif dialek "Cirebonan"
karakter masyarakat pesisir Pantai Utara termasuk Cirebon.
Intensitas kultur dari bermacam suku dan agama yang berdampingan
sehingga lambat laun yang semula penduduk pribumi menganut agama Hindu lambat
laun mengikuti agama baru (mayoritas Islam) serta didukung oleh pemimpin yang
beragama Islam, sehingga proses akulturasi budaya berkembang dan mengasilkan
corak keislaman yang plural. Konsep plural yang dimaksudkan di sini ialah
mengakui adanya budaya dari Arab (pedagang muslim), Cina, Sunda dan Jawa
sehingga mereka mampu bersosialisasi dengan massif. Berikut beberapa akulturasi
budaya Islam dengan budaya Jawa Hindu-Budha di Cirebon yaitu :
a.
Gamelan
Sekaten
Gamelan Sekaten digunakan oleh Sunan Gunung Jati untuk memikat
masyarakat Cirebon pada saat itu untuk masuk Islam, karena tidak sembarang
orang bisa mendengarkan alunan gamelan tersebut, hanya orang-orang yang
mengucapkan kalimat syahadatlah yang diperbolehkan untuk mendengarkannya. Pada
saat itu mulai banyak masyarakat berbondong bonding untuk mendengarkan Gamelan
Sekaten dan semakin banyak pula masyarakat yang memeluk agama Islam pada saat
itu
b.
Nadran
Nadran adalah tradisi membuang sesaji dan kepala kerbau ket tengah
laut sebagai wujud rasa syukur para nelayan kepada Sang Pencipta. Tradisi
Nadran ini bukan hanya ada di wilayah Cirebon seja, melainkan dibeberapa daerah
misalnya Indramayu, Subang, dan Karawang.
c.
Sintren
Pada zaman kejayaan Cirebon ketika para wali menjadi dari segala
tata nilai yang ada, kesenian sintren mengalami perubahan nafas dan makna yang
terkandung didalamnya. Dalam pagelaran ini baik pemain maupun penonton tanpa
terasa memasuki ajaran Islam karena yang mereka dengar dan saksikan, sebenarnya
nilai-nilai ajaran Islam yang melebur
dalam kesenian
sintren.
Pada awal pertunjukannya ketika gamelan mulai dimainkan dan
diiringi lagu-lagu Jawa seperti lir-ilir, cublek-cublek suweng, dan sebagainya.
Lagu-lagu tersebut mempunyai makna filosofi yang bernafaskan Islam. Itulah
beberapa proses adaptasi budaya yang dilakukan para wali untuk mengislamkan
tatar sunda. Para wali tidak menghilangkan budaya-budaya lokal, walaupun selalu
identik dengan kepercayaan Hindu-Budha. Para wali mencoba mengakulturasikan
budaya lokal yang bernafaskan Hindu-Budha dan kepercayaan nenek moyang sehingga
mampu bernafaskan Islam. Secara perlahan-lahan para wali melakukan pendekatan
melalui budaya.
Selain itu, Cirebon terus menerus beradaptasi dan bertahan dengan
budaya masa lalu yang hingga sekarang masih ada dan nyata buktinya. Baik secara
budaya adat istiadat atau kebiasaan dan budaya yang bersifat bendawi. Hal
tersebut terpelihara dengan baik oleh masyarakat Cirebon dan terpelihara
dilingkungan Keraton Kasepuhan, Kanoman maupun Kacirebonan. Unsur-unsur budaya
bendawi pra Islam bisa kita temukan dilingkungan Keraton Kasepuhan, Kanoman,
Kacirebonan, maupun di Gua Sunyaragi. Unsur budaya Hindu-Budha ini terpelihara
dengan baik. Unsur-unsur tersebut diantaranya :
a.
Pintu
Gerbang Mesjid Agung Sang Cipta Rasa
b.
Patung
Macan Ali
c.
Kereta
Singa Barong
d.
Ukiran
Kamasutera
e.
Arca
Nandi
f.
Lingga
Yoni
g.
Candi
Bentar
h.
Tandu
Garuda Mina
i.
Ukiran
Ganesha
j.
Jaladwara
B.
Pendiri Kesultanan Cirebon
1.
Pangeran
Cakrabuana (Raden Walangsungsang)
Ki Danusela beserta keluarga pada tahun 1440 M pindah dari Carbon
Girang menempati pemukiman baru di Kebon Pesisir. Menantu Ki Ageng Kasmaya,
Kuwu Carbon Girang itu adalah adik kandung Ki Danuwarsih, guru dan mertua
Pangeran Walangsungsang. Sedangkan Ki Danuwarsih dan Ki Danusela adalah anak
dari Ki Danusetra, pendeta di Kerajaan Galuh/ Pakuan Pajajaran yang dimakamkan
di gunung Danghyang/ gunung Dieng.
Atas perintah gurunya, Pangeran Walangsungsang dan istrinya Nyi
Endang Geulis dan adiknya Nyi Mas Rarasantang bergabung dengan Ki Danusela
memperluas serta meramaikan pemukiman baru sekaligus sebagai pelindung
masyarakat. Saat itu sejumlah 52 orang ikut turkah babad dan bermukim di sana.
Para pemukim Dukuh Kebon Pesisir memilih Ki Danusela sebagai kuwu pertama yang
bergelar Ki Ageng Pangalang Alang atau Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai bentuk
penghargaan Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi wakilnya dengan jabatan
Pangraksabhumi (ingat: jabatan Raksabumi di pedesaan hingga sekarang, ed.) dan
bergelar Ki Cakrabumi. Ada pun mata pencaharian penduduk ialah mencari ikan dan
rebon sebagaimana dirintis dan dicontohkan oleh Ki Ageng Pangalang Alang.
Tahun 1447 Masehi Ki Cakrabumi kembali dari berhaji dan bergelar
Haji Abdullah Iman. Setelah Ki Ageng Pangalang Alang wafat, H. Abdullah Iman
diangkat sebagai kuwu dengan gelar Ki Kuwu Cakrabuana. Di bawah kepemimpinan Ki
Kuwu Cakrabuana (Pangeran Walangsungsang) dukuh Kebon Pesisir semakin ramai.
Penduduk baru berdatangan dari mana-mana. Saat itu penduduk Kebon Pesisir
berjumlah 346 orang yang terdiri atas 182 pria dan 164 perempuan dengan
rincian: 196 orang Sunda, 106 orang Jawa, 16 orang Sumatra, 14 orang
Semenanjung Malaya, 2 orang India, 2 orang Persia, 3 orang Syams (Suriah), 11
orang Arab dan 6 orang Cina. Sudah Nampak kebhinekaan ketika itu.
Dibantu warga Ki Kuwu Cakrabuana mendirikan mesjid yang kemudian
dinamakan Mesjid Jalagrahan. Jala artinya air, grahan artinya
bangunan, maksudnya bangunan dekat air. Pedukuhan Kebon Pesisir diganti
namanya oleh Ki Kuwu Cakrabuana menjadi Caruban yang berarti campuran
dengan dasar keragaman penduduk pemukiman baru tersebut.
Dua tahun kemudian Pangeran Cakrabuana membangun pedaleman (keraton)
setelah kakeknya, Ki Ageng Tapa wafat. Beliau tidak meneruskan keratuan di
Singapura, Celancang. Segala harta kekayaan Keraton Singapura dibawa dan
digunakan untuk membangun keraton dengan nama Keraton Pakungwati. Nama ini
diambil dari nama putrinya sendiri, yakni Nyi Mas Pakungwati dari ibu Nyai
Endang Geulis. Keraton Pakungwati disebut juga Dalem Agung Pakungwati. Pakung =
udang, wati = gadis/ perempuan. Pakungwati artinya udang perempuan (udang
wadon).
2.
Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
Dukuh / Pakuwon Carbon berangsur
menjadi Cirebon – Cerbon yang artinya Aci Rebon. Perkembangannya semakin
nyata. Penduduk bertambah terus, kehidupan semakin teratur, perekonomian
masyarakat semakin maju. Upeti yang terdiri dari garam dan terasi kepada pusat
melalui Galuh berjalan lancar. Pangeran Cakrabuana memperoleh anugerah dari
kerajaan Galuh. Melalui upacara Gegelan Tanda Kaprabon, Pakuan Carbon pun
ditingkatkan statusnya menjadi Katumenggungan. Beliau menjabat sebagai
tumenggung dengan gelar Tumenggung Sri Mangana.
Anugerah ini merupakan jenjang ke puncak cita-cita Pangeran
Cakrabuana, yakni berdirinya Kerajaan Islam Cirebon. Tahun 1479 Keraton
Pakungwati diserahkan kepada keponakannya yaitu Syarif Hidayatullah yang juga
tak lain adalah menantunya. Ketika itulah Syarif Hidayatullah dilantik menjadi Susuhunan
Carbon Panetep Panatagama Senarat Sunda yang berkedudukan di Keraton
Pakungwati. Pangeran Cakrabuana bertindak sebagai
sesepuh Cirebon, pelindung dan penasihat masalah politik dan strategi
pengembangan agama Islam.
Pengangkatan Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati sebagai
susuhunan tatar Sunda secara sepihak oleh Pangeran Cakrabuana sudah barang
tentu mengundang kecurigaan kerajaan Galuh. Cirebon bagi Galuh dianggap sebagai
ancaman yang membahayakan kedaulatannya. Namun kecurigaan itu berkurang
manakala pengiriman upeti ke Galuh tetap lancar.
Mendapat laporan resmi dari Galuh, Prabu Siliwangi mengutus tim
peninjau ke Carbon. Mereka yang ditunjuk adalah yang sebelumnya pernah diutus
menyampaikan Piagam Raja dalam pengangkatan Pangeran Cakrabuana menjadi
tumenggung, yakni Pangeran Jagabaya dan Raja Sengara. Mereka berangkat tanpa
pengawalan lengkap. Keduanya adalah orang yang sangat dekat dengan Pangeran
Cakrabuana. Raja Sengara adalah adik bungsu sekandung dengan Pangeran
Cakrabuana.
Ternyata Pangeran Jagabaya dan Raja Sengara tidak kembali lagi ke
Pajajaran untuk melaporkan hasil penyelidikannya. Mereka menetap di Cirebon dan
mendukung penuh berdirinya Kerajaan Islam Cirebon, dengan segala risikonya.
Prabu Siliwangi sangat kecewa. Namun beliau tidak mengambil langkah hukum, baik
terhadap Cirebon maupun utusannya sendiri. Malah ia menduga, mungkin inilah
saat pergeseran kekuasaan dan pindahnya wahyu keraton dari Pakuan Pajajaran
kepada anak cucu penerusnya di Cirebon. Sesuai pandangan metafisik dan
pengalaman gaibnya tatkala Prabu Siliwangi manekung bersemedi menghadap Hyang
Widhi. Bahkan dengan bijak sang prabu meredam kecurigaan Galuh terhadap
Cirebon.
C.
Islamisasi di Cirebon
Berbicara tentang Cirebon tidak bisa lepas dari peran Islam. Justru
Cirebon pada awalnya memang telah didesain sebagai salah satu pusat masyarakat
dan kebudayaan Islam. Dalam konteks sejarah Cirebon, Islam telah hadir sebelum
terbentuknya wilayah yang sekarang disebut Cirebon. Islam pertama kali
dihadirkan di Cirebon oleh dua orang muballigh Islam, Syekh Hasanudin dan Syekh
Nurjati, pada dekade kedua dan ketiga abad ke 15. Dibandingkan tokoh yang
pertama yang kemudian memilih daerah Karawang sebagai basis gerakan
Islamisasinya, Syekh Nurjati lebih berhak diberikan kredit sebagai penyiar
Islam pertama di Cirebon. Tidak saja ia memilih wilayah Cirebon sebagai pusat
gerakan Islamisasinya, Ia juga mendirikan semacam prototype lembaga pendidikan
Islam khas Indonesia dengan nama Pengguran. Di tempat inilah akan lahir
calon-calon pemimpin besar sekaligus muballigh agung di wilayah barat pulau
Jawa seperti Ki Somadullah/Raden Walangsungsang dan Sunan Gunung Jati selain
tentu adik dan para putranya seperti Syekh Bayanullah yang menyiarkan Islam di
wilayah Kuningan, Syekh Abdurahman atau Pangeran Panjunan dan Syekh Abdurrahim
atau Pangeran Kejaksan serta Syekh Datuk Khafid, imam besar Mesjid Sang Cipta
Rasa.
Di bawah bimbingan Syekh Nurjati inilah, para penguasa Kerajaan
Cirebon terutama Ki Somadullah dan Sunan Gunung Jati berhasil menyebarkan Islam
ke seluruh wilayah bagian barat pulau Jawa, membangun struktur masyarakat
berbasis ajaran Islam, menerapkan hukum Islam, meski dengan segala
keterbatasan, membangun basis politik Islam di nusantara dan membangun
kebudayaan lokal yang telah mengalami banyak penyelarasan dengan prinsip dan
ajaran Islam.
Secara umum pola Islamisasi di nusantara itu mengambil tiga tahapan
antara lain kedatangan, penerimaan dan pelembagaan. Dalam konteks Cirebon,
kadatangan Islam sebagaimana di daerah lain diawali oleh datangnya para
muballigh dan kaum Muslim dari luar wilayah Cirebon. Mereka berasal dari
berbagai wilayah di belahan dunia mulai dari Arab, India hingga Cina. Syekh
Nurjati beserta adik dan putra-putrinya memiliki garis keturunan dengan
keluarga muballigh Arab. Syekh Nurjati sebelum datang ke Cirebon terlebih
dahulu tinggal di Malaka. Berbeda dengan kakaknya, Syekh Bayanullah langsung
datang dari wilayah Arab. Sementara itu, pada abad ke 15 juga sudah terdapat
komunitas Muslim Cina yang bermadzhab Hanafi.
Perkembangan komunitas Muslim selanjutnya lebih didominasi oleh
pola konversi kaum pribumi seperti yang ditampilkan oleh sosok-sosok seperti
Nyai Subang Larang, istri Prabu Siliwangi, beserta tiga anaknya yaitu Pangeran
Walangsungsang, Nyi Mas Rarasantang dan Pangeran Kian Santang. Sosok-sosok
pribumi inilah yang sangat berperan dalam proses penyebaran Islam di kalangan
pribumi. Pangeran Walangsungsang melakukan Islamisasi di wilayah utara,
sementara Pangeran Kian Santang di wilayah bagian selatan. Di bandingkan dengan
dua saudara laki-lakinya, peran Nyi Mas Rarasantang dalam gerakan Islamiasi
Cirebon dan sekitarnya tidak banyak dicatat. Namun, perannya digantikan oleh
putra sulungnya, Syarif Hidyatullah atau Sunan Gunung Jati. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, peran sosok-sosok bangsawan lokal itulah Islam mengalami
proses institusionalisasi di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Islam dalam proses pembentukan identitas kebudayaan lokal di
Cirebon memiliki peran yang sangat penting dan menjadi elemen utama. Hal ini
berbeda dengan Islam dalam konteks kebudayaan lokal di Jawa Tengah dan Jawa
Timur, Islam memainkan peranan yang “tipis” dalam konteks pembentukan dan
pengembangan budaya. Budaya dan tradisi lokal yang telah ada sebelum Islam
masih sangat dominan dalam wajah budaya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Inilah yang
menjadi dasar terbentuknya Islam yang sinkretis di dua wilayah tersebut. Wajah
sinkretis dalam beragama di dua wilayah tersebut sebenarnya bukan hanya terjadi
pada Islam, tetapi juga pada agama-agama yang lain termasuk Hindu, Budha dan
Kristen. Artinya, nilai dan prinsip lokal yang telah mengakar jauh sebelum
agama-agama “impor” itu datang. Masuknya mereka ke agama-agama tersebut lebih
pada penyesuaian atau adaptasi nilai dan prinsip lokal pada perubahan “wadah”
keagamaan yang terjadi di masyarakat Jawa saat itu. Tidak heran jika banyak
orang Jawa yang dengan mudah berpindah dari satu agama ke agama lain, tanpa
menghilangkan nilai dan prinsip kejawaan mereka.
Sehingga Islam dalam struktur kebudayaan Cirebon jelas memiliki
kekhasan dibandingkan dengan dengan apa yang terjadi di Jawa bagian tengah dan
timur, dimana Islam yang secara aktif melakukan proses adaptasi dan akomodasi
di Cirebon. Islam di Cirebon dan juga di belahan barat pulau Jawa lebih kental.
Dengan kata lain, kaum Muslim di wilayah ini tampil lebih fanatik dibandingkan
saudara mereka di belahan tengah dan timur pulau Jawa. Di sini prinsip Islam
dibahasakan dengan bahasa dan cara pandang lokal tanpa kehilangan nilai dan
prinsip utamanya
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan bercorak Islam pertama di tanah
Sunda atau Jawa Barat yang sebelumnya merupakan daerah kekuasaan kerajaan
Pajajaran yang di pimpin oleh Prabu Siliwangi. Berdirinya Kesultanan Cirebon di
pelopori oleh raden Walangsungsang yang merupakan anak dari Prabu Siliwangi.
Hal ini dilakukan oleh Raden Walangsungsang atas perintah dari gurunya yaitu
Syekh Nur Jati untuk membuka lahan pedukuhan Tegal Alang-Alang yang mayoritas
pendudukan masih beragama Hindu-Budha. Dengan segala kualitas kepemimpinan dan
usahanya, Raden Walangsungsang berhasil mengembangkan wilayah Tegal Alang-Alang
menjadi lebih berkembang. Bahkan pada masa kepeimpinan Sunang Gunung Jati
Kesultana Cirebon mencapai puncak kejayaannya dengan bertambahnya wilayah
kesultanan Cirebon.
Status Cirebon sebagai kota pelabuhan internasional dan pusat gerakan Islamisasi di wilayah barat pulau Jawa, elemen-elemen internasional dan Islam begitu dominan dalam berbagai tradisi, budaya, seni hingga bangunan fisik yang ada di wilayah Cirebon. Jejak-jejak kebudayaan Cina, India, Arab, bahkan Eropa bisa dengan mudah ditemukan di wilayah Cirebon. Begitu pula, nilai dan ajaran serta tradisi Islam seperti telah menjadi identitas khusus Cirebon. bahkan, jika dibandingkan dengan wilayah lain di bagian tengah dan timur pulau Jawa, Cirebon merupakan representasi dari Islam yang lebih “fanatik”.
DAFTAR PUSTAKA
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang
Budaya Batas-batas Pembaratan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000),
buku 1, hlm. 29.
Didin Nurul Rosidin and Aah
Syafa’ah. Keragaman Budaya Cirebon: Survey Atas Empat Entitas Budaya
Cirebon. CV. ELSI PRO, 2016
M. Sanggupri Bochari dan Wiwi
Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. (Jakarta: CV. Suko Rejo
Bersinar, 2001), hlm. 5.
M. Sanggupri Bochari dan Wiwi
Kuswiah, op. cit., hlm. 6
P. S. Sulendraningrat, op. cit.,
hlm. 18.
Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto, and
Eva Nur Arovah, Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi Di Cirebon (Jakarta:
Percetakan Negara RI, 2004), 135.
Siti Zulfah. Islamisasi Di
Cirebon: Peran Dan Pengaruh Walangsungsang Perspektif Naskah Carios
Walangsungsang. Tamaddun, Vol. 6, No. 1, Januari – Juni 2018 173
Suteja. Cirebon Studies. CV.
Aksara Satu, 2022.
Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional
Indonesia II. (Jakarta: Depdikbud, 1988), hlm. 113.
Wahyu Iryana, Muhamad Bisri Mustofa
dan Muhammad Saidun Anwar. Budaya Bendawi Pra Islam di Keraton Cirebon
Indonesia. Bulletin of Indonesian Islamic Studies (journal homepage: https://journal.kurasinstitute.com/index.php/biis)
https://www.historyofcirebon.id/2020/05/sejarah-cirebon-pra-islam.html
https://tirto.id/sejarah-singkat-kesultanan-cirebon-kerajaan-islam-sunda-pertama-ga1T

