Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan

PRA ISLAM DAN ISLAMISASI MEMBUMI DI CIREBON

MAKALAH

PRA ISLAM DAN ISLAMISASI MEMBUMI DI CIREBON

Disajikan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Cirebon Studies

Dosen Pengampu : Yunita Dwi Jayanti, M.Pd

 



Di susun Oleh :
M. Ibnu Ngathoillah (2381130477)
Syaifudin Thohari (2381130469)
Hafshah Khoirun Nisaa (2381130480)
Yusda Ahmad (2381130492) 
Kelas B13

 

 

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN JARAK JAUH 

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

(PJJ PAI)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SIBER SYEKH NURJATI CIREBON  2024

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Sebelum lahirnya Cirebon sebagai kota seperti saat ini, Cirebon adalah sebuah pedukuhan yang berkembang menjadi negeri kemudian menjadi sebuah kerajaan. Kerajaan Cirebon yang saat ini merupakan bagian dari wilayah administratif Provinsi Jawa Barat terletak diujung timur Pantai Utara Jawa Barat dan berbatasan dengan wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah. Batas wilayahnya adalah sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Brebes, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kuningan, sebelah barat dengan Kabupaten Majalengka, dan sebelah utara dengan Kabupaten Indramayu.

Perkembangan Cirebon sebenarnya melalui tahap demi tahap kesejarahan yang panjang sebelum akhirnya memasuki era Islam. Cirebon sebelum kekuasaan Islam memimpin adalah dibawah kekuasaan kerajaan Galuh yang berada dibawah kerajaan besar yaitu Pajajaran. Pada kekuasaan Kerajaan Galuh pengaruh Hindu-Budha sangat melekat pada kehidupan masyarakatnya. Hal ini terjadi dikarenakan perdagangan internasional mulai berkembang dan pengaruh Hindu-Budha lebih dahulu masuk di daratan Nusantara termasuk Cirebon.

Pada tahun 1475-1482 M, kedudukan wilayah Cirebon berada di bawah kekuasaan Prabu Anggalarang (Tohaan) di Galuh. Prabu Anggalarang adalah ayah dari Prabu Siliwangi yang kemudian menjadi Raja Pajajaran. Ketika Prabu Siliwangi berkuasa, daerah Cirebon mulai ramai didatangi para pedagang dari luar Nusantara. Sekitar abad ke XV M, Pelabuhan Cirebon sudah banyak didatangi pedagang muslim. Seperti yang dikatakan Tome Pires bahwa Kerajaan Sunda Pajajaran melarang pedagang muslim terlalu banyak masuk. Pembatasan terhadap masuknya pedagang muslim ke Cirebon tidak terlalu berjalan lancar, karena pada tahun 1531 sudah banyak orang-orang muslim yang bertempat tinggal di Cirebon.

Hingga pada abad ke XV Cirebon berubah menjadi sebuah Kerajaan Islam yang berdaulat di Nusantara. Menurut sumber dari manuskrip Babad Cirebon, Purwaka Caruban Nagai, dan Negara Kertabhumi pendiri Kerajaan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati, seorang tokoh Islam yang dikenal menjadi salah satu anggota dari Walisongo. Dalam buku Cirebon Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial dijelaskan adanya pembukaan lahan untuk pemukiman para pedagang muslim sebelum era Sunan Gunung Jati.

Sebelum Kerajaan Cirebon berdiri di bawah Kekuasaan Sunan Gunung Jati pada 1479 M, sudah ada pemukiman Islam di Cirebon. Kuwu Cerbon yang diberi kuasa oleh Raja Pajajaran menggambarkan bahwa tetap ada toleransi kepada para pedagang Muslim yang menetap di Cirebon hingga akhirnya membaur dengan masyarakat pribumi. Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Kerajaan Cirebon di bawah Sunan Gunung Jati di Cirebon yang menyatukan wilayah Pesambangan dan Lemah Wungkuk di bawah kedaulatan Kerajaan Cirebon.

Menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari, Cirebon dulunya bernama Dukuh Caruban. Dukuh Caruban adalah dukuh yang dibangun oleh putra mahkota Pajajaran, Pangeran Cakrabuana/Raden Walangsungsang yang dibantu oleh adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Indang Geulis. Pangeran Cakrabuana membuka pedukuhan atas perintah gurunya, Syekh Nurul Jati/Syekh Datuk Kahfi.

Setelah padukuhan tersebut dipimpin oleh Raden Walangsungsang yang memeluk Islam barulah kemudian Cirebon berangsur-angsur menjadi Islam, bahkan dengan kesungguhanya Raden Walangsungsang kemudian mendirikan kesultanan Cirebon bersama keponakannya Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dari Kesultanan Cirebon kemudian dijaman setelahnya Islamisasi gencar dijalankan di Cirebon, bahkan menembus seluruh daerah pedalaman di Jawa barat dan Banten. 

B.  Rumusan Masalah

1.     Bagaimana sejarah Kesultanan Cirebon?

2.     Siapa pendiri Kesultanan Cirebon?

3.     Bagaimana islamisasi di Cirebon?

C.  Tujuan Penulisan Makalah

1.     Mengetahui sejarah Kesultanan Cirebon

2.     Mengetahui pendiri Kesultanan Cirebon

3.     Mengetahui islamisasi di Cirebon

D.  Kajian Pustaka

1.   Siti Zulfah (2018) telah melakukan penelitian dengan judul “Islamisasi Di Cirebon: Peran Dan Pengaruh Walangsungsang Perspektif Naskah Carios Walangsungsang”. Hasil penelitian ini menunjukan peran Walangsungsang memberikan pengaruh dalam kegemilangan Islam di Cirebon

2.   Wahyu Iryana, dkk (2023) telah melakukan penelitian dengan judul “Budaya Bendawi Pra Islam di Keraton Cirebon Indonesia”. Hasil penelitian ini menunjukan keberadaan unsur pra Islam tersebut menandakan bahwa proses akulturasi dan menghargai leluhur adalah salah satu cara masuknya Islam dengan mudah ke tanah Jawa yang dilakukan oleh Keraton Cirebon


BAB II

PEMBAHASAN

A.  Sejarah Cirebon

1.   Sejarah terbentuknya Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon adalah kerajaan bercorak Islam pertama di tanah Sunda atau Jawa Barat. Sejarah kerajaan yang wilayahnya pernah menjadi bagian dari Kerajaan Tarumanegara lalu Pajajaran ini didirikan pada abad ke-15 Masehi, tepatnya tahun 1430. Awalnya, Cirebon merupakan daerah bernama Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang. Kerajaan Cirebon dirintis oleh Raden Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), putra Raja Pajajaran dari Kerajaan Sunda Galuh, yakni Prabu Siliwangi dengan permaisurinya, Nyai Subang Larang. Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang lahir pula Nyai Lara Santang, dan Raden Kian Santang atau Pangeran Sengara yang merupakan adik dari Raden Walangsungsang.

Pedukuhan yang dibuka oleh Pangeran Walangsungsang dikenal dengan nama Lemah Wungkuk. Pedukuhan ini sebenarnya telah dihuni oleh seorang nelayan bernama Ki Gedheng AlangAlang/Ki Danusela yang kemudian menjadi Kuwu Cerbon pertama. Lama kelamaan dukuh ini berkembang dan ramai dikunjungi para pedagang dan berubah nama menjadi Caruban. Syekh Datuk Kahfi juga memberi julukan pada Pangeran Cakrabuana dengan nama Ki Somadullah. Ki Somadullah ini kemudian menggantikan Kuwu Cerbon pertama,

Pada saat menjabat sebagai kuwu, Raden Walangsungsang menunjukkan kecakapannya. Ia mampu memajukan wilayah itu, Cirebon Larang semakin berkembang melebihi ukuran sebuah desa. Saat itu wilayahnya banyak didatangi oleh para pendatang dari berbagai suku bangsa. Semakin banyak juga penduduk Cirebon Larang yang beralih agama dari Hindu (pengaruh Pajajaran di pantai utara Jawa khususnya di Cirebon dan sekitarnya) ke agama Islam. Bahkan kebesaran wilayah ini pada ujungnya telah mengungguli wilayah Amparan Jati dimana Muara Jati menjadi pusat pelabuhan internasionalnya. Lebih dari itu wilayah Amparan Jati kemudian menjadi bagian dari Cirebon Larang.

Wilayah Cirebon Larang telah lengkap untuk membentuk kerajaan, maka Prabu Siliwiangi segera mengirimkan utusannya yang bernama Jagabaya (Perwira Angkatan Perang Pajajaran) serta Raja sengara (Kian Santang), adik bungsu Walangsungsang untuk menobatkan Raden Walangsungsang sebagai raja daerah dengan gelar Tumenggung Sri Mangana Cakrabuana. Dengan demikian, maka mulai saat itu, status Pakuwuan Cirebon berubah menjadi Kerajaan di bawah kekuasaan Pajajaran.

2.   Kejayaan Kesultanan Cirebon

Pada masa Raden Walangsungsang dengan segala kualitas kepemimpinan dan usahanya, beliau berhasil mengembangkan wilayah Lemah Wungkuk ini. Perluasan wilayah ini yang terus berlanjut secara otomatis berimplikasi terhadap semakian beragamnya penduduk berikut budaya dan tradisinya. Artinya, dari sisi budaya, heterogenitas penduduk awal ini menjadi landasan sejarah yang kokoh bagi berkembangnya budaya di wilayah yang nantinya bernama Caruban Nagari yaitu negeri dimana beragam suku bangsa dan budaya serta agama bertempat tinggal. Dengan semakin penting dan strategisnya posisi pelabuhan Cirebon dalam jaringan pelayaran dan perdagangan internasional dan regional di wilayah pesisir pantai utara pulau Jawa, Cirebon menjadi salah satu pusat transmisi ilmu pengetahuan dan budaya merkantilisme saat itu. Tidak heran, jika banyak artifak-artifak yang bisa ditemukan dan menunjukan akan kompleksitas kebudayaan dan peradaban yang singgah dan berkembang di wilayah Cirebon mulai dari kesenian, tradisi keagamaan, produk ekonomi dan kuliner. Beberapa diantaranya bahkan bertahan sampai sekarang seperti batik, kesenian brai, nasi lengko dan lain sebagainya.

Cirebon sebagai kekuatan politik baru di bagian barat pulau Jawa mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah yang merupakan keponakan Raden Walangsungsang untuk menggantikan posisi sebagai penguasa Cirebon. Sunan Gunung Jati berhasil melanjutkan program perluasan wilayah dari pamannya. Secara geografis, perluasan wilayah mencakup seluruh wilyah pesisir utara, pedalaman, wilayah selatan hingga ujung barat pulau Jawa yaitu wilayah Banten.

Perluasan wilayah yang massif oleh Sunan Gunung Jati bahkan sampai harus berhadapan dengan penguasa utama wilayah Jawa Barat yaitu Kerajaan Pajajaran. Di awali oleh pernyataan penolakan untuk sumpah setia kepada raja Pajajaran dan pengalihan kesetiaan ke Kerajaan Islam Demak, Sunan Gunung Jati melakukan perlawanan terhadap Kerajaan Pajajaran. Selanjutnya melalui serangkaian peperangan dan penaklukan, Sunan Gunung Jati tidak saja merebut semua wilayah yang dulunya dikuasai oleh Kerajaan Pajajaran, tetapi sekaligus juga mengikis pengaruh Pajajaran, sebelum Kerajaan Hindu tersebut benar-benar jatuh pada tahun 1579 atau 11 tahun setelah wafatnya Sunan Gunung Jati. Singkatnya, di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati dan menurunnya pengaruh Kerajaan Pajajaran, Cirebon pada abad ke 16 berhasil menjadi penguasa tunggal wilayah bagian barat pulau Jawa, sebelum Sunan Gunung Jati sendiri mengangkat putranya Sultan Maulana Hasanudin sebagai penguasa Kerajaan Banten.

3.   Ragam Sosial-Budaya Masyarakat Cirebon

Cirebon yang terletak di perbatasan antara dunia Sunda dan dunia Jawa yang disebut sebagai kota persilangan budaya yang cukup bertahan hingga sekarang. Telah disebutkan dalam karya Denys Lombard, suku Sunda pada tahun 1980 bahwa meningkatnya suku Sunda ketika itu 27 juta orang, bangga akan identitas mereka dan jarang dianggap sebagai orang Jawa. Tetapi bagi sebagian masyarakat Cirebon khususnya ketika ditanya orang Cirebon tidak mengakui dari suku Jawa maupun Sunda, mereka menyebutnya asli Cirebon. Asal kata Cirebon di sini diidentifikasi sebagai budaya asli Cirebon yang terdiri dari peleburan dua budaya yaitu Jawa dan Sunda. Corak budaya dalam perspektif dialek "Cirebonan" karakter masyarakat pesisir Pantai Utara termasuk Cirebon.

Intensitas kultur dari bermacam suku dan agama yang berdampingan sehingga lambat laun yang semula penduduk pribumi menganut agama Hindu lambat laun mengikuti agama baru (mayoritas Islam) serta didukung oleh pemimpin yang beragama Islam, sehingga proses akulturasi budaya berkembang dan mengasilkan corak keislaman yang plural. Konsep plural yang dimaksudkan di sini ialah mengakui adanya budaya dari Arab (pedagang muslim), Cina, Sunda dan Jawa sehingga mereka mampu bersosialisasi dengan massif. Berikut beberapa akulturasi budaya Islam dengan budaya Jawa Hindu-Budha di Cirebon yaitu :

a.   Gamelan Sekaten

Gamelan Sekaten digunakan oleh Sunan Gunung Jati untuk memikat masyarakat Cirebon pada saat itu untuk masuk Islam, karena tidak sembarang orang bisa mendengarkan alunan gamelan tersebut, hanya orang-orang yang mengucapkan kalimat syahadatlah yang diperbolehkan untuk mendengarkannya. Pada saat itu mulai banyak masyarakat berbondong bonding untuk mendengarkan Gamelan Sekaten dan semakin banyak pula masyarakat yang memeluk agama Islam pada saat itu

b.   Nadran

Nadran adalah tradisi membuang sesaji dan kepala kerbau ket tengah laut sebagai wujud rasa syukur para nelayan kepada Sang Pencipta. Tradisi Nadran ini bukan hanya ada di wilayah Cirebon seja, melainkan dibeberapa daerah misalnya Indramayu, Subang, dan Karawang.

c.   Sintren

Pada zaman kejayaan Cirebon ketika para wali menjadi dari segala tata nilai yang ada, kesenian sintren mengalami perubahan nafas dan makna yang terkandung didalamnya. Dalam pagelaran ini baik pemain maupun penonton tanpa terasa memasuki ajaran Islam karena yang mereka dengar dan saksikan, sebenarnya nilai-nilai ajaran Islam yang melebur

dalam kesenian sintren.

Pada awal pertunjukannya ketika gamelan mulai dimainkan dan diiringi lagu-lagu Jawa seperti lir-ilir, cublek-cublek suweng, dan sebagainya. Lagu-lagu tersebut mempunyai makna filosofi yang bernafaskan Islam. Itulah beberapa proses adaptasi budaya yang dilakukan para wali untuk mengislamkan tatar sunda. Para wali tidak menghilangkan budaya-budaya lokal, walaupun selalu identik dengan kepercayaan Hindu-Budha. Para wali mencoba mengakulturasikan budaya lokal yang bernafaskan Hindu-Budha dan kepercayaan nenek moyang sehingga mampu bernafaskan Islam. Secara perlahan-lahan para wali melakukan pendekatan melalui budaya.

Selain itu, Cirebon terus menerus beradaptasi dan bertahan dengan budaya masa lalu yang hingga sekarang masih ada dan nyata buktinya. Baik secara budaya adat istiadat atau kebiasaan dan budaya yang bersifat bendawi. Hal tersebut terpelihara dengan baik oleh masyarakat Cirebon dan terpelihara dilingkungan Keraton Kasepuhan, Kanoman maupun Kacirebonan. Unsur-unsur budaya bendawi pra Islam bisa kita temukan dilingkungan Keraton Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, maupun di Gua Sunyaragi. Unsur budaya Hindu-Budha ini terpelihara dengan baik. Unsur-unsur tersebut diantaranya :

a.   Pintu Gerbang Mesjid Agung Sang Cipta Rasa

b.   Patung Macan Ali

c.   Kereta Singa Barong

d.   Ukiran Kamasutera

e.   Arca Nandi

f.    Lingga Yoni

g.   Candi Bentar

h.   Tandu Garuda Mina

i.    Ukiran Ganesha

j.    Jaladwara

B.  Pendiri Kesultanan Cirebon

1.   Pangeran Cakrabuana (Raden Walangsungsang)

Ki Danusela beserta keluarga pada tahun 1440 M pindah dari Carbon Girang menempati pemukiman baru di Kebon Pesisir. Menantu Ki Ageng Kasmaya, Kuwu Carbon Girang itu adalah adik kandung Ki Danuwarsih, guru dan mertua Pangeran Walangsungsang. Sedangkan Ki Danuwarsih dan Ki Danusela adalah anak dari Ki Danusetra, pendeta di Kerajaan Galuh/ Pakuan Pajajaran yang dimakamkan di gunung Danghyang/ gunung Dieng.

Atas perintah gurunya, Pangeran Walangsungsang dan istrinya Nyi Endang Geulis dan adiknya Nyi Mas Rarasantang bergabung dengan Ki Danusela memperluas serta meramaikan pemukiman baru sekaligus sebagai pelindung masyarakat. Saat itu sejumlah 52 orang ikut turkah babad dan bermukim di sana. Para pemukim Dukuh Kebon Pesisir memilih Ki Danusela sebagai kuwu pertama yang bergelar Ki Ageng Pangalang Alang atau Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai bentuk penghargaan Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi wakilnya dengan jabatan Pangraksabhumi (ingat: jabatan Raksabumi di pedesaan hingga sekarang, ed.) dan bergelar Ki Cakrabumi. Ada pun mata pencaharian penduduk ialah mencari ikan dan rebon sebagaimana dirintis dan dicontohkan oleh Ki Ageng Pangalang Alang.

Tahun 1447 Masehi Ki Cakrabumi kembali dari berhaji dan bergelar Haji Abdullah Iman. Setelah Ki Ageng Pangalang Alang wafat, H. Abdullah Iman diangkat sebagai kuwu dengan gelar Ki Kuwu Cakrabuana. Di bawah kepemimpinan Ki Kuwu Cakrabuana (Pangeran Walangsungsang) dukuh Kebon Pesisir semakin ramai. Penduduk baru berdatangan dari mana-mana. Saat itu penduduk Kebon Pesisir berjumlah 346 orang yang terdiri atas 182 pria dan 164 perempuan dengan rincian: 196 orang Sunda, 106 orang Jawa, 16 orang Sumatra, 14 orang Semenanjung Malaya, 2 orang India, 2 orang Persia, 3 orang Syams (Suriah), 11 orang Arab dan 6 orang Cina. Sudah Nampak kebhinekaan ketika itu.

Dibantu warga Ki Kuwu Cakrabuana mendirikan mesjid yang kemudian dinamakan Mesjid Jalagrahan. Jala artinya air, grahan artinya bangunan, maksudnya bangunan dekat air. Pedukuhan Kebon Pesisir diganti namanya oleh Ki Kuwu Cakrabuana menjadi Caruban yang berarti campuran dengan dasar keragaman penduduk pemukiman baru tersebut.

Dua tahun kemudian Pangeran Cakrabuana membangun pedaleman (keraton) setelah kakeknya, Ki Ageng Tapa wafat. Beliau tidak meneruskan keratuan di Singapura, Celancang. Segala harta kekayaan Keraton Singapura dibawa dan digunakan untuk membangun keraton dengan nama Keraton Pakungwati. Nama ini diambil dari nama putrinya sendiri, yakni Nyi Mas Pakungwati dari ibu Nyai Endang Geulis. Keraton Pakungwati disebut juga Dalem Agung Pakungwati. Pakung = udang, wati = gadis/ perempuan. Pakungwati artinya udang perempuan (udang wadon).

2.   Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)

Dukuh / Pakuwon Carbon berangsur menjadi Cirebon – Cerbon yang artinya Aci Rebon. Perkembangannya semakin nyata. Penduduk bertambah terus, kehidupan semakin teratur, perekonomian masyarakat semakin maju. Upeti yang terdiri dari garam dan terasi kepada pusat melalui Galuh berjalan lancar. Pangeran Cakrabuana memperoleh anugerah dari kerajaan Galuh. Melalui upacara Gegelan Tanda Kaprabon, Pakuan Carbon pun ditingkatkan statusnya menjadi Katumenggungan. Beliau menjabat sebagai tumenggung dengan gelar Tumenggung Sri Mangana.

Anugerah ini merupakan jenjang ke puncak cita-cita Pangeran Cakrabuana, yakni berdirinya Kerajaan Islam Cirebon. Tahun 1479 Keraton Pakungwati diserahkan kepada keponakannya yaitu Syarif Hidayatullah yang juga tak lain adalah menantunya. Ketika itulah Syarif Hidayatullah dilantik menjadi Susuhunan Carbon Panetep Panatagama Senarat Sunda yang berkedudukan di Keraton Pakungwati. Pangeran Cakrabuana bertindak sebagai sesepuh Cirebon, pelindung dan penasihat masalah politik dan strategi pengembangan agama Islam.

Pengangkatan Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati sebagai susuhunan tatar Sunda secara sepihak oleh Pangeran Cakrabuana sudah barang tentu mengundang kecurigaan kerajaan Galuh. Cirebon bagi Galuh dianggap sebagai ancaman yang membahayakan kedaulatannya. Namun kecurigaan itu berkurang manakala pengiriman upeti ke Galuh tetap lancar.

Mendapat laporan resmi dari Galuh, Prabu Siliwangi mengutus tim peninjau ke Carbon. Mereka yang ditunjuk adalah yang sebelumnya pernah diutus menyampaikan Piagam Raja dalam pengangkatan Pangeran Cakrabuana menjadi tumenggung, yakni Pangeran Jagabaya dan Raja Sengara. Mereka berangkat tanpa pengawalan lengkap. Keduanya adalah orang yang sangat dekat dengan Pangeran Cakrabuana. Raja Sengara adalah adik bungsu sekandung dengan Pangeran Cakrabuana.

Ternyata Pangeran Jagabaya dan Raja Sengara tidak kembali lagi ke Pajajaran untuk melaporkan hasil penyelidikannya. Mereka menetap di Cirebon dan mendukung penuh berdirinya Kerajaan Islam Cirebon, dengan segala risikonya. Prabu Siliwangi sangat kecewa. Namun beliau tidak mengambil langkah hukum, baik terhadap Cirebon maupun utusannya sendiri. Malah ia menduga, mungkin inilah saat pergeseran kekuasaan dan pindahnya wahyu keraton dari Pakuan Pajajaran kepada anak cucu penerusnya di Cirebon. Sesuai pandangan metafisik dan pengalaman gaibnya tatkala Prabu Siliwangi manekung bersemedi menghadap Hyang Widhi. Bahkan dengan bijak sang prabu meredam kecurigaan Galuh terhadap Cirebon.

C.  Islamisasi di Cirebon

Berbicara tentang Cirebon tidak bisa lepas dari peran Islam. Justru Cirebon pada awalnya memang telah didesain sebagai salah satu pusat masyarakat dan kebudayaan Islam. Dalam konteks sejarah Cirebon, Islam telah hadir sebelum terbentuknya wilayah yang sekarang disebut Cirebon. Islam pertama kali dihadirkan di Cirebon oleh dua orang muballigh Islam, Syekh Hasanudin dan Syekh Nurjati, pada dekade kedua dan ketiga abad ke 15. Dibandingkan tokoh yang pertama yang kemudian memilih daerah Karawang sebagai basis gerakan Islamisasinya, Syekh Nurjati lebih berhak diberikan kredit sebagai penyiar Islam pertama di Cirebon. Tidak saja ia memilih wilayah Cirebon sebagai pusat gerakan Islamisasinya, Ia juga mendirikan semacam prototype lembaga pendidikan Islam khas Indonesia dengan nama Pengguran. Di tempat inilah akan lahir calon-calon pemimpin besar sekaligus muballigh agung di wilayah barat pulau Jawa seperti Ki Somadullah/Raden Walangsungsang dan Sunan Gunung Jati selain tentu adik dan para putranya seperti Syekh Bayanullah yang menyiarkan Islam di wilayah Kuningan, Syekh Abdurahman atau Pangeran Panjunan dan Syekh Abdurrahim atau Pangeran Kejaksan serta Syekh Datuk Khafid, imam besar Mesjid Sang Cipta Rasa.

Di bawah bimbingan Syekh Nurjati inilah, para penguasa Kerajaan Cirebon terutama Ki Somadullah dan Sunan Gunung Jati berhasil menyebarkan Islam ke seluruh wilayah bagian barat pulau Jawa, membangun struktur masyarakat berbasis ajaran Islam, menerapkan hukum Islam, meski dengan segala keterbatasan, membangun basis politik Islam di nusantara dan membangun kebudayaan lokal yang telah mengalami banyak penyelarasan dengan prinsip dan ajaran Islam.

Secara umum pola Islamisasi di nusantara itu mengambil tiga tahapan antara lain kedatangan, penerimaan dan pelembagaan. Dalam konteks Cirebon, kadatangan Islam sebagaimana di daerah lain diawali oleh datangnya para muballigh dan kaum Muslim dari luar wilayah Cirebon. Mereka berasal dari berbagai wilayah di belahan dunia mulai dari Arab, India hingga Cina. Syekh Nurjati beserta adik dan putra-putrinya memiliki garis keturunan dengan keluarga muballigh Arab. Syekh Nurjati sebelum datang ke Cirebon terlebih dahulu tinggal di Malaka. Berbeda dengan kakaknya, Syekh Bayanullah langsung datang dari wilayah Arab. Sementara itu, pada abad ke 15 juga sudah terdapat komunitas Muslim Cina yang bermadzhab Hanafi.

Perkembangan komunitas Muslim selanjutnya lebih didominasi oleh pola konversi kaum pribumi seperti yang ditampilkan oleh sosok-sosok seperti Nyai Subang Larang, istri Prabu Siliwangi, beserta tiga anaknya yaitu Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Rarasantang dan Pangeran Kian Santang. Sosok-sosok pribumi inilah yang sangat berperan dalam proses penyebaran Islam di kalangan pribumi. Pangeran Walangsungsang melakukan Islamisasi di wilayah utara, sementara Pangeran Kian Santang di wilayah bagian selatan. Di bandingkan dengan dua saudara laki-lakinya, peran Nyi Mas Rarasantang dalam gerakan Islamiasi Cirebon dan sekitarnya tidak banyak dicatat. Namun, perannya digantikan oleh putra sulungnya, Syarif Hidyatullah atau Sunan Gunung Jati. Sebagaimana telah disebutkan di atas, peran sosok-sosok bangsawan lokal itulah Islam mengalami proses institusionalisasi di wilayah Cirebon dan sekitarnya.

Islam dalam proses pembentukan identitas kebudayaan lokal di Cirebon memiliki peran yang sangat penting dan menjadi elemen utama. Hal ini berbeda dengan Islam dalam konteks kebudayaan lokal di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Islam memainkan peranan yang “tipis” dalam konteks pembentukan dan pengembangan budaya. Budaya dan tradisi lokal yang telah ada sebelum Islam masih sangat dominan dalam wajah budaya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Inilah yang menjadi dasar terbentuknya Islam yang sinkretis di dua wilayah tersebut. Wajah sinkretis dalam beragama di dua wilayah tersebut sebenarnya bukan hanya terjadi pada Islam, tetapi juga pada agama-agama yang lain termasuk Hindu, Budha dan Kristen. Artinya, nilai dan prinsip lokal yang telah mengakar jauh sebelum agama-agama “impor” itu datang. Masuknya mereka ke agama-agama tersebut lebih pada penyesuaian atau adaptasi nilai dan prinsip lokal pada perubahan “wadah” keagamaan yang terjadi di masyarakat Jawa saat itu. Tidak heran jika banyak orang Jawa yang dengan mudah berpindah dari satu agama ke agama lain, tanpa menghilangkan nilai dan prinsip kejawaan mereka.

Sehingga Islam dalam struktur kebudayaan Cirebon jelas memiliki kekhasan dibandingkan dengan dengan apa yang terjadi di Jawa bagian tengah dan timur, dimana Islam yang secara aktif melakukan proses adaptasi dan akomodasi di Cirebon. Islam di Cirebon dan juga di belahan barat pulau Jawa lebih kental. Dengan kata lain, kaum Muslim di wilayah ini tampil lebih fanatik dibandingkan saudara mereka di belahan tengah dan timur pulau Jawa. Di sini prinsip Islam dibahasakan dengan bahasa dan cara pandang lokal tanpa kehilangan nilai dan prinsip utamanya

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Kesultanan Cirebon adalah kerajaan bercorak Islam pertama di tanah Sunda atau Jawa Barat yang sebelumnya merupakan daerah kekuasaan kerajaan Pajajaran yang di pimpin oleh Prabu Siliwangi. Berdirinya Kesultanan Cirebon di pelopori oleh raden Walangsungsang yang merupakan anak dari Prabu Siliwangi. Hal ini dilakukan oleh Raden Walangsungsang atas perintah dari gurunya yaitu Syekh Nur Jati untuk membuka lahan pedukuhan Tegal Alang-Alang yang mayoritas pendudukan masih beragama Hindu-Budha. Dengan segala kualitas kepemimpinan dan usahanya, Raden Walangsungsang berhasil mengembangkan wilayah Tegal Alang-Alang menjadi lebih berkembang. Bahkan pada masa kepeimpinan Sunang Gunung Jati Kesultana Cirebon mencapai puncak kejayaannya dengan bertambahnya wilayah kesultanan Cirebon.

Status Cirebon sebagai kota pelabuhan internasional dan pusat gerakan Islamisasi di wilayah barat pulau Jawa, elemen-elemen internasional dan Islam begitu dominan dalam berbagai tradisi, budaya, seni hingga bangunan fisik yang ada di wilayah Cirebon. Jejak-jejak kebudayaan Cina, India, Arab, bahkan Eropa bisa dengan mudah ditemukan di wilayah Cirebon. Begitu pula, nilai dan ajaran serta tradisi Islam seperti telah menjadi identitas khusus Cirebon. bahkan, jika dibandingkan dengan wilayah lain di bagian tengah dan timur pulau Jawa, Cirebon merupakan representasi dari Islam yang lebih “fanatik”.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-batas Pembaratan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), buku 1, hlm. 29.

Didin Nurul Rosidin and Aah Syafa’ah. Keragaman Budaya Cirebon: Survey Atas Empat Entitas Budaya Cirebon. CV. ELSI PRO, 2016

M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. (Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001), hlm. 5.

M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, op. cit., hlm. 6

P. S. Sulendraningrat, op. cit., hlm. 18.

Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto, and Eva Nur Arovah, Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi Di Cirebon (Jakarta: Percetakan Negara RI, 2004), 135.

Siti Zulfah. Islamisasi Di Cirebon: Peran Dan Pengaruh Walangsungsang Perspektif Naskah Carios Walangsungsang. Tamaddun, Vol. 6, No. 1, Januari – Juni 2018 173

Suteja. Cirebon Studies. CV. Aksara Satu, 2022.

Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia II. (Jakarta: Depdikbud, 1988), hlm. 113.

Wahyu Iryana, Muhamad Bisri Mustofa dan Muhammad Saidun Anwar. Budaya Bendawi Pra Islam di Keraton Cirebon Indonesia. Bulletin of Indonesian Islamic Studies (journal homepage: https://journal.kurasinstitute.com/index.php/biis)

https://www.historyofcirebon.id/2020/05/sejarah-cirebon-pra-islam.html

https://tirto.id/sejarah-singkat-kesultanan-cirebon-kerajaan-islam-sunda-pertama-ga1T  


KONSEP PENDIDIKAN MUTIKULTURALISME DI INDONESIA

 

MAKALAH

KONSEP PENDIDIKAN MUTIKULTURALISME

DI INDONESIA

Disajikan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu : Dr. FETRIMEN, M.PD


Di susun Oleh :

M. Ibnu Ngathoillah (2381130477)

Kelas B13

 

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN JARAK JAUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

(PJJ PAI)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SIBER SYEKH NURJATI CIREBON  2024



BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

 Indonesia merupakan negara multikultural yang besar di dunia, terdiri dari berbagai suku, agama, etnis, budaya dan lain sebagainya. Indonesia terdiri dari 13.000 pulau besar maupun kecil. Populasi penduduk Indonesia mencapai kurang lebih 250 juta jiwa dengan keanekaragaman yang terdiri dari 300 suku, 200 bahasa dan enam agama yang diakui oleh negara. Agama yang diakui di Indonesia yaitu : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Oleh karenanya, keberagaman ini menjadi keberkahan bagi bangsa Indonesia sekaligus menjadi musibah bila multikultural mengalami disharmonisasi.

Bangsa Indonesia memiliki semboyan berkaitan dengan multikultural yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Semboyan ini memiliki makna bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan keanekaragaman dalam berbagai hal namun mampu bersatu dalam keharmonisan kehidupan dengan berbagai macam perbedaan. Dengan semboyan ini diharapkan setiap individu dan golongan yang berbeda suku, bahasa, budaya, dan agama mampu bersatu pada dalam membangun Indonesia.

Dalam menerima keragaman dan perbedaan harus didukung dengan sebuah sikap terbuka Sikap multikultural diperlukan dengan mengedepankan keterbukaan dan menerima setiap perbedaan yang ada. Setiap individu hendaklah menumbuh kembangkan sikap multikultural dengan keyakinan: perbedaan bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan konflik, namun bila mampu mengelola dengan baik maka perbedaan menjadi anugerah dan produktif. Sikap multikultural akan efektif bila setiap individu menyadari bahwa manusia bukan manusia yang sempurna dan selalu membutuhkan interaksi dengan manusia lain.

Pendidikan multikultural merupakan wacana baru dalam dunia pendidikan, sehingga definisi dari multikultural memiliki banyak penafsiran. Sebagaimana pendidikan yang memiliki banyak tafsir terkait definisi pendidikan antara satu pakar dengan pakar lain. Menurut Andersen dan Cusher dalam (Sulaeman, 2022) mengartikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.

Pendidikan multikultural merupakan istilah yang bisa digunakan pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menjelaskan isu-isu dan masalah pendidikan yang berkaitan dengan multikultural. Ia juga mencakup defenisi tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek seperti : toleransi, tema-tema perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik beserta mediasinya, Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Pluralitas, kemanusian universal dan subjek-subjek lain yang relevan.

Wacana pendidikan multikultural banyak diperbincangkan di berbagai kalangan terutama kalangan pemikir Pendidikan. Indonesia sendiri melaksanakan pendidikan dengan berbagai bentuk keanekaragaman. Kegiatan pendidikan meliputi banyak hal dan berkaitan erat dengan perkembangan hidup manusia, yang mana perkembangan tersebut meliputi perkembangan fisik, pikiran, perasaan, kemauan, kesehatan, ketrampilan, sosial, dan lainnya. Semua hal tersebut ditangani oleh pendidikan. Proses mendidik memiliki makna membuat manusia lebih baik dari sebelumnya, membuat manusia menaikan taraf hidupnya dari kehidupan alamiah menjadi kehidupan yang berbudaya.

B.  Rumusan Masalah

1.     Apa yang dimaksud Multikultural?

2.     Bagaimana Pendidikan Multikultural di Indonesia?

C.  Tujuan Penulisan Makalah

1.     Mengetahui tentang Multikultural

2.     Mengetahui Pendidikan Multikultural Di Indonesia


BAB II

PEMBAHASAN

A.  Multikultral

1.     Pengertian Multikultural

Istilah multikulturalisme berasal dari kata multi yang berarti banyak (lebih dari dua) dan kata culture yang berarti budaya. secara sederhana, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri dari dua kebudayaan atau lebih. Multikulturalisme sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan etnis yang berbeda-beda dalam suatu kelompok atau negara. Keragaman dalam konteks multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat.

Multikulturalisme adalah situasi di mana semua kelompok budaya atau ras yang berbeda dalam suatu masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama, dan tidak ada yang diabaikan atau dianggap tidak penting. Multikulturalisme biasanya terbentuk dalam skala nasional atau dalam komunitas pada suatu bangsa dan negara. Hal ini dapat terjadi baik secara alami melalui imigrasi, atau secara artifisial ketika yurisdiksi budaya yang berbeda dipersatukan melalui keputusan legislatif, seperti dalam problem Perancis dan Inggris Kanada.

Dalam ilmu sosiologi, multikulturalisme adalah sebuah gambaran cara di mana masyarakat tertentu berdampingan dengan keragaman budaya. Berdasarkan asumsi yang mendasari bahwa sebuah budaya yang seringkali berbeda dapat hidup berdampingan secara damai, multikulturalisme mengungkapkan pandangan bahwa masyarakat diperkaya dengan melestarikan, menghormati, dan bahkan mendorong keragaman budaya. Misalnya di bidang filsafat politik, multikulturalisme adalah mengacu pada cara-cara di mana masyarakat multikulturalisme memilih untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan resmi yang berhubungan dengan perlakuan yang adil terhadap budaya yang berbeda.

2.     Ciri-Ciri Masyarakat Multikultural

Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan keanekaragaman lainnya. Sehingga memiliki perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya tetapi mereka hidup bersama-sama dan memiliki kesetaraan yang sama didalam sebuah daerah atau tempat yang mereka tinggali dalam kurun waktu tertentu. Keragaman yang ada tersebut akan membentuk sebuah ciri-ciri masyarakat multikultural, seperti :

a.     Memiliki kebudayaan lebih dari satu karena terdiri dari masyarakat yang beragam.

b.   Segmentasi memang membentuk masyarakat yang terdiri dari budaya, suku, ras, dan lainnya yang berbeda, tetapi ada hal yang memisahkannya.

c.  Memiliki kesepakatan yang telah ditetapkan bersama sehingga memiliki konsesus yang rendah, maka dari itu masyarakat multikultural biasanya susah atau sulit sekali mengambil sebuah keputusan.

d. Berpotensi adanya konflik apabila semakin banyaknya perbedaan yang ada di dalam masyarakat tersebut. Maka dari itu, masyarakat multikultural juga rentan akan terpecah belah yang menyebabkan pemisahan suatu negara.

e.   Karena keberagaman tersebut, maka akan menimbulkan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas.

Fokus multikulturalisme adalah pada pemahaman akan hidup penuh dengan perbedaan sosial budaya, baik secara individual maupun kelompok yang dapat menjadi refleksi dari sosial dan kebudayaan. Masyarakat Indonesia dikenal dengan keanekaragaman budaya yang diakui dan dihormati, sehingga dapat menghindari dari isu-isu separatisme atau memisahkan diri.

3.     Jenis-Jenis Multikultural

Mengutip dari buku Manifesto Gerakan Intelektual Profetik karya Muhammad Abdul Halim Sani membagi jenis multikulturalisme dalam beberapa jenis beriku

a. Multikulturalisme Isolasi

Masyarakat multikulturalisme isolasi cenderung menjalankan kehidupan mereka secara otonom meskipun tetap terlibat dalam interaksi satu sama lain. Kelompok tersebut menerima keragaman yang ada, tetapi di saat yang sama mereka berusaha mempertahankan budayanya secara terpisah dari masyarakat lain.

b. Multikulturalisme Akomodatif

Bentuk multikulturalisme ini terjadi pada kelompok masyarakat yang memiliki dominasi untuk membuat penyesuaian-penyesuaian dengan kelompok masyarakat minoritas. Biasanya, masyarakat mayoritas atau dominan ini memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mengembangkan dan mempertahankan budayanya. Pun juga kaum minoritas tidak menentang kultur dominan yang ada dalam satu kesatuan masyarakat mereka.

c. Multikulturalisme Otonomi

Model multikulturalisme ini berusaha mewujudkan adanya kesetaraan (equality) pada masing-masing kelompok. Kelompok kultural utama berupaya untuk membentuk kesetaraan hak-hak yang sama dengan kelompok dominan. Prinsip-prinsip dari jenis multikulturalisme ini adalah mempertahankan cara hidup otonom dalam rangka politik kolektif dan menentang usaha penciptaan kelompok dominan yang lebih eksis.

d. Multikulturalisme Kritikal/ interaktif

Jenis multikulturalisme ini terjadi pada masyarakat plural yang kelompok-kelompoknya tidak terlalu menuntut kehidupan otonom. Akan tetapi, kelompok masyarakat tersebut lebih menuntut keterciptaan kultur kolektif yang menegaskan perspektif distingtif mereka.

e. Multikulturalisme Kosmopolitan

Kehidupan multikulturalisme ini berusaha menghapus batas-batas kultural untuk menciptakan masyarakat yang tiap individunya tidak terikat pada budaya tertentu. Biasanya terjadi pada masyarakat yang heterogen, toleran, dan bersedia hidup berdampingan satu sama lain dengan perbedaan yang ada. Adapun perbedaan tersebut terbagi menjadi perbedaan horizontal berdasarkan kesatuan sosial (seperti agama, suku, adat, ras) dan perbedaan vertikal (seperti kasta, kelas ekonomi, dan hierarki budaya).

B.  Pendidikan Multikultural

1.   Sejarah Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” setelah terjadinya Perang Dunia (PD) kedua. Kemuculan kesadaran dan gagasan ini selain terkait dengan perkembangan politik global yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), kemerdekaan dari penjajahan, diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena berkembang pesatnya pluralitas di Barat yang disebabkan peningkatan migrasi dari negara-negara berkembang menuju daratan benua Amerika dan Eropa (Tilaar, 2002).

Di Indonesia sendiri sejak awal tahun 2000an mencuat wacana baru dalam khazanah pemikiran pendidikan yakni pendidikan multikultural. Gagasan tersebut muncul karena dilatar belakangi berbagai hal salah satu di antaraaya adalah efek globalisasi. Globalisasi membawa dampak positif sekaligus negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu aspek yang paling merasakan dampaknya adalah kebudayaan bangsa (culture and tradition). Pendidikan multicultural di Indonesia mengalami proses Panjang dan melelahkan. Dimulai dari zaman Pra-kolonial, fase kolonialiseme, fase melting pot pada orde baru hingga dewasa ini.

Menurut (Tilaar, 2002) berpendapat, bangsa yang tidak memiliki strategi dalam mengelola kebudayaannya yang akan memperolah tantangan yang berat karena dikhawatirkan akan mudah terbawa arus sehingga akan terkikis jati diri local dan nasionalnya. Pendidikan multikultural juga bisa digunakan sebagai sebuah strategi transformasi budaya yang ampuh yakni melalui sarana pendidikan yang menghargai perbedaan budaya.

Dalam tahapan pelaksanaan pendidikan multikultural seyogyangan dikembangkan prinsip solidaritas. Yaitu kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam melawan ego diri dan kelompoknya demi terwujudnya upaya-upaya pengakuan keanakeragaman demi terciptanya harmonisasi kehidupan di Indonesia. Dengan demikian pendidikan multikultural dilandasi kesdaran akan keberadaan diri tanpa merendahkan dan menjatuhkan yang lain bisa terwujud.

2.   Pendidikan Berbasis Multikultural

Pendidikan merupakan bagian dari investasi masa depan, investasi masyarakat sekaligus investasi negara dalam rangka memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka dalam rangka mencapai tujuan tersebut, Pendidikan senantiasa diarahkan untuk menjawab beberapa hal yang berkaitan dengan masalah kebangsaan dan keumatan. Sebagaimana diketahui bahwa model Pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Pendidikan agama dan Pendidikan nasional. Pertautan antara Pendidikan dan multikultural merupakan solusi atau realitas budaya yang beragam sebagai sebuah proses pengembangan seluruh potensi yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku dan aliran atau agama (Maslikhah, 2007).

Pendidikan multikultural bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dengan sejumlah sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam lingkungan budaya entik mereka, budaya nasional dan antar budaya lainnya. Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan demikian Pendidikan multikultural dapat membantu peserta didik untuk mengerti, menerima dan menghargai orang dari suku, budaya dan nilai yang berbeda.

Pendidikan multikultural sangat penting untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanistis dan pluralis dalam lingkungan mereka. Dengan kata lain, melalui Pendidikan multikultural peserta didik diharapkan dapat dengan mudah memahami, menguasai, memiliki kompetensi yang baik, bersikap dan menerapkan nilai-nilai demokratis, humanisme dan pluralisme baik di sekolah maupun luar sekolah.oleh karena itu tujuan pokok dari Pendidikan multikultural adalah menerapkan prinsip-prinsip keadilan demokrasi dan sekaligus humanisme.

Tujuan pokok dari pendidikan multikultural adalah untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi dan sekaligus humanisme. Pendidikan di alam demokrasi seperti Indonesia harus berorientasi pada kepentingan bangsa yang berlatar belakang multi etnik, multi agama, multi bahasa, dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan pendidikan harus memperhatikan kondisi bangsa yang heterogen. Perubahan-perubahan yang terjadi sekarang ini sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi serta masuknya arus globalisasi membawa pengaruh multidimensional (Prayitno, 2009).

3.   Pendekatan Pendidikan Multikultural

Merancang bangun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang beranekaragam mengandung tantangan yang tidak mudah. Pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advoksi untuk menciptakan masyarakat yang memilki toleransi tinggi. Dalam mencapai tujuan tersebut diperlukan berbagai upaya pendekatan.

Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural. Pendekatan tersebut meliputi (Mahfudz, 2016): Membedakan pemikiran pandangan (education) dangan persekolahan (schooling). Pandangan yang luas terhadap pendidikan multikultural menyatakan pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi yang keliru, pendidikan bukan hanya tanggug jawab sekolah saja melainkan menjadi tanggung jawab banyak pihak. Karena program sekolah juga harus rekevan dengan pembelajaran di luar sekolah.

a. Menghindari pandangan yang menyamakan antara kebudayaan dengan kelompok etnik. Maknanya adalah sudah seharusnya pendidikan tidak perlu mengasosikan budaya dengan kelopok etnik tertentu sebagiaman yang lumrah terjadi. Dalam konteks pendidikan multikultural pendekatan ini diharapkan dapat memebrikan ide kepada para penyusun program untuk melenyapkan kecenderungan memandang peserta didik secara stereotipe berdaarkan identitas mereka. Sebaiknya meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih luas mengenai persamaan dan perbedaana diantara peserta didik

b.   Pendidikan mulikultural menjadi hal yang relative baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dibutuhkan interaksi dengan orang-orang yang sudah memilki kompetensi sebagai suatu bentuk upaya pendidikan bagi pluralisme budaya.

c.  Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam berbagai kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi akan ditentukan oleh situasi dan kondisi secara personal.

d. Pendidikan formal maupun nonformal akan meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam berbagai macam kebudayaan.

4.   Pendidikan Multikultural di Indonesia

Dukungan dari sumber daya sekolah belum optimal sedangkan terlaksananya pengembangan media peraga dalam proses belajar mengajar tidak lepas dari peran penting sumber daya sekolah khususnya manusia terutama kepala sekolah, teman sejawat, tenaga administrasi, dan peserta didik itu sendiri.

Berubahnya struktur sosila politik masyarakat, tuntunan hak asasi manusia, pemahaman nasionalisme serta arus globalisasi yang begitu dinamis dan masif mempengaruhi perkembangan pendidikan. hla itu disebabkan pendidikan tidak akan bisa terlepas dari sturktur soial dan politik masyarakat. Hal ini terjadi juga kepada perkembangan pendidikan multikuturalisme yang sangat bergantung pada perubahan social dan politik masyarakat. Gelombang perubahan yang tergambar sebelumnya akan melahirkan Pendidikan multikulturalisme dengan berbagai corak (Tilaar, 2004).

Model Pendidikan di Indonesia, juga di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program Pendidikan multicultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada terbatas pada keragaman budaya yang ada dan terbatas pada dimensi kognitif.

Berkaitan dengan kemajemukan bangsa, Indonesia memiliki semboyan yang sangat adil dan demokratis: “Bhineka Tunggal Ika”. Semboyan ini memiliki pengertian bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa di dunia yang terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, Bahasa dan agama yang berbeda beda tetapi dalam kesatuan Indonesia. Semboyan ini mengandung seni manajemen untuk mengatur keragaman Indonesia, yang terdiri dari 250 kelompok suku, 250 lebih Bahasa local. 13000 pulau, agama resmi (Islam, Katolik, Kristen,Budha dan Hindu serta berbagai macam aliran kepercayaan), dan latar belakang kesukuan yang sangat beragam. Dengan semboyan ini diharapkan masing-masing individu dan kelompok yang berbeda suku, Bahasa, budaya, dan agama dapat Bersatu dan bekerjasama untuk membangun bangsanya lebih kuat.

Sejalan dengan berkembang pesatnya demokrasi di Indonesia yang memiliki dampak yang besar salah satunya terhadap Pendidikan. Pendidikan multicultural sangat tepat dilaksanakan di Indonesia yang masyarakatnya heterogen dengan keragaman suku, agama, budaya dan Bahasa. 



BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Pendidikan multikultural bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dengan sejumlah sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam lingkungan budaya entik mereka, budaya nasional dan antar budaya lainnya. Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.

Model Pendidikan di setiap negara di dunia menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Terlebih di Indonesia yang terdiri dari 250 kelompok suku, 250 lebih Bahasa local. 13000 pulau, agama resmi (Islam, Katolik, Kristen,Budha dan Hindu serta berbagai macam aliran kepercayaan), dan latar belakang kesukuan yang sangat beragam. Sehingga Pendidikan multicultural sangat tepat dilaksanakan di Indonesia yang masyarakatnya heterogen dengan keragaman suku, agama, budaya dan Bahasa.

Dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang dimiliki bangsa Indonesia menunjukan bahwa semoboyan tersebut mengandung seni manajemen untuk mengatur keragaman Indonesia yang sangat banyak.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Maslikhah. (2007). Quo Vadis Pendidikan multikultural : Rekonstruksi Pendidikan Berbasis Kebangsaan. Surabaya: JP Books.

Prayitno. (2009). Dasar Teori da Praksis Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

Tilaar. (2004). Multikulturalisme : Tantangan-tantangan Global Masa Depan Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

https://www.sampoernauniversity.ac.id/id/mengenal-multikulturalisme-pengertian-teori-dan-karakteristik/

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6934531/pengertian-multikulturalisme-lengkap-dengan-ciri-ciri-dan-jenis

https://agrotek.id/vip/multikultural/












Apakah Menyetubuhi hewan wajib mandi besar ?

Tanda-tanda akhir zaman salah satunya adalah banyaknya perbuatan zina yang terjadi, perbuatan semacam ini tidak hanya sesama manusia namun t...