PANCASILA PRA KEMERDEKAAN DAN ERA KEMERDEKAAN

 

MAKALAH

PANCASILA PRA KEMERDEKAAN

DAN ERA KEMERDEKAAN

 

Disajikan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pancasila

Dosen Pengampu : Dr. FETRIMEN, M.PD

 

 

Di susun Oleh :
M. Ibnu Ngathoillah (2381130477)

 


PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN JARAK JAUH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

(PJJ PAI)

IAIN SYEKH NURJATI CIREBON  2023


BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

 Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan bangsa Indonesia sejak dahulu. Sejarah peristiwa-peristiwa masa lampau saling berhubungan dengan kejadian masa sekarang dan semuanya bermuara pada masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa semua aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan kehidupan masa sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan masa yang sebelumnya.

Pancasila merupakan pedoman pemikiran masyarakat Bangsa Indonesia dimana pemikiran, pedoman dan kepercayaan Bangsa Indonesia dibangun dan didasarkan pada Pancasila. Dalam hal ini Pancasila dapat menjadi alat pemersatu bangsa, pembimbing bangsa Indonesia untuk mencapai suatu tujuan, memotivasi untuk menjaga dan memajukan jati diri Negara Indonesia, serta menjadi suatu pedoman hidup yang dapat menjaga keutuhan negara.

Pancasila sebagai dasar Negara mempunyai arti yaitu mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan pancasila sebagai dasar Negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia bersumber pada Pancasila, karena Pancasila merupakan sumber tertib hukum yang mengatur kehidupan negara yang tertuang dalam Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

B.  Rumusan Masalah

1.     Bagaimanakah sejarah Pancasila Pra kemerdekaan ?

2.     Bagaimanakah sejarah Pancasila eEa kemerdekaan ?

C.  Tujuan Penulisan Makalah

1.     Mengetahui Pancasila Pra kemerdekaan ?

2.     Mengetahui Pancasila Era kemerdekaan ?


BAB II

PEMBAHASAN

A.  PANCASILA PRA KEMERDEKAAN

1.     Pancasila pra kemerdekaan

Pancasila adalah ideologi negara dan dasar negara bagi kehidupan bangsa Indonesia. Kata Pancasila sendiri diambil dari bahasa sansekerta, di mana Panca berarti lima dan Sila yang berarti dasar atau asas.  Istilah Pancasila sudah dikenal sejak zaman majapahit pada abad ke-14, terdapat dalam buku Negarakertagama karangan Empu Prapanca.

Sejarah lahirnya Pancasila berawal pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945, di mana Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengadakan sidang pertama untuk membahas dasar negara. Dimana BPUPKI sendiri terbentuk pada tanggal 1 Maret 1945 yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T) Radjiman Wedyodiningrat. Dalam pembukaan pidato pada sidang pertama Radjiman Widyodiningrat mengelontarkan pertanyaan "Apa dasar negara kita dan mau dibentuk apa ? ". Saat merumuskan Pancasila sebagai dasar negara, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam sidang BPUKI yaitu Muhammad Yamin, Soekarno, dan Soepomo. Sidang pertama dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1945-1 Juni 1945 untuk merumuskan falsafah dasar negara untuk negara Indonesia.

Muhammad Yamin 

Pada tanggal 29 Mei 1945 Muh Yamin mengemukakan 5 asas bagi negara Indonesia yaitu :

1.   Sila pertama "Kebangsaan "

2.   Sila kedua "Kemanusiaan"

3.   Sila ketiga "Ketuhanan"

4.   Sila keempat "Kerakyatan"

5.   Sila kelima "Kesejahteraan Rakyat"

Prof. Dr. Soepomo

Pada tanggal 31 Mei 1945 Prof.Dr. Soepomo Mengemukakan 3 asas teori-teori bagi Negara Indonesia yaitu :

1.   Sila pertama "Teori Negara Perseorangan (Individualis)"

2.   Sila kedua "Paham Negara kelas (Class Theory)"

3.   Sila ketiga "Paham Negara Integralistik"

Ir.Soekarno 

Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir Soekarno mengemukakan 5 prinsip dasar Negara yaitu :

1.   Sila pertama " Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)."

2.   Sila kedua " Internasionalisme (Peri kemanusiaan)."

3.   Sila ketiga "Mufakat (Demokarasi)."

4.   Sila keempat "Kesejahteraan sosial"

5.   Sila kelima "Ketuhanan yang Maha Esa."

Akhirnya gagasan yang disampaikan Ir. Soekarno diterima oleh segenap anggota BPUPKI secara aklamasi. Setelah itu, BPUPKI membentuk Panitia Kecil atau Panitia Sembilan yang bertugas untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan usulan Soekarno pada.1 Juni 1945.

Anggota Panitia Sembilan adalah :

1.   Soekarno

2.   Mohammad Hatta

3.   Mr AA Maramis

4.   Abikoesno Tjokrosoejoso

5.   Abdul Kahar Muzakkir

6.   Agus Salim

7.   Achmad Soebardjo

8.   Wahid Hasjim

9.   Mohammad Yamin

2.     Isi Pancasila

Setelah melalui berbagai proses persidangan, akhirnya rumusan Pancasila berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah UUD 1945. Akhirnya, Pancasila disahkan dan dinyatakan resmi sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945.

Berikut isi Pancasila dengan lambangnya :

a.     Ketuhanan yang Maha Esa, dengan lambang bintang dilambangkan dengan bintang.

b.     Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dengan lambang rantai

c.     Persatuan Indonesia, dengan lambang Pohon Beringin

d.     Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan, dengan lambang kepala banteng

e.     Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dengan lambang padi dan kapas

3.     Nilai-Nilai Pancasila Pra Kemerdekaan

Nilai-nilai esensial Pancasila sebelum disahkan tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI nilainya telah ada sejak zaman Batu yaitu : Nilai – Nilai Adat Kemanusiaan, Persatuan, Kebudayaan, Religius Istiadat, Ketuhanan, Kerakyatan, dan Keadilan telah dimiliki bangsa Indonesia. Kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia mulai tampak pada abad ke VII ketika munculnya kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan kerajaan-kerajaan lainnya.

Menurut Mr. Muhammad Yamin berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu: Pertama, zaman Sriwijaya di bawah Wangsa Syailendra (600-1400). Kedua, negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525). Kedua tahap negara kebangsaan tersebut adalah negara kebangsaan lama. Ketiga, negara kebangsaan modern yaitu negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 (Sekretariat Negara.RI. 1995:11).

a.   Masa Kerajaan Sriwijaya

Pada abad ke VII berdirilah sebuah kerajaan di Sumatera yaitu kerajaan Sriwijaya, dibawah kekuasaan wangsa Syailendra . Hal ini termuat dalam prasasti Kedukan Bukit. Perdagangan dilakukan dengan mempersatukan pedagang pengrajin dan pegawai Raja yang disebut Tuha An Vatakvurah sebagai pengawas dan pengumpul semacam koperasi sehingga rakyat mudah untuk memasarkan barang dagangannya. Demikian pula dalam sistem pemerintahan kerajaannya tidak dapat dilepaskan dengan nilai-nilai Ketuhanan. Sedangkan agama dan kebudayaan dikembangkannya dengan mendirikan suatu Universitas agama Buddha yang sudah dikenal di Asia.

Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah menunjukkan nilkai-nilai Pancasila, yaitu :

1)   Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup berdampingan secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan pembinaan dan pengembangan agama Budha.

2)   Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh nilai-nilai politik luar negeri yang bebas dan aktif

3)   Nilai Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan konsep negara kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara.

4)   Nilai Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi (Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu.

5)   Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga kehidupan rakyatnya sangat makmur.

b.   Masa kerajaan Majapahit

Sebelum kerajaan Majapahit berdiri telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur secara silih berganti, yaitu Kerajaan Kalingga (abad ke VII), Sanjaya (abad ke VIII), sebagai refleksi puncak budaya dari kerajaan tersebut adalah dibangunnya candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke IX) dan candi Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke X).

 Di Jawa Timur muncul pula kerajaan-kerajaan, yaitu Isana (abad ke IX), Dharmawangsa (abad ke X), Airlangga (abad ke XI). Agama yang diakui kerajaan adalah agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa telah hidup berdampingan secara damai. Nilai-nilai kemanusiaan telah tercermin dalam kerajaan ini, terbukti menurut prasasti Kelagen bahwa Raja Airlangga telah mengadakan hubungan dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola dan Champa. Pada abad ke XIII berdiri kerajaan Singasari di Kediri Jawa Timur yang ada hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1293) Zaman Keemasan Majapahit pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan maha patih Gajah Mada. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya membentang dari semananjung Melayu sampai ke Irian Jaya.

Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365) yang di dalamnya telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma dimana dalam buku itu tedapat seloka persatuan nasional yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua

Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan raja Hayam Wuruk dengan baik dengan kerajaanTiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja. Mengadakan persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar “ Mitreka Satata”.

Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan Menteri-menteri pada tahun 1331 yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya.

Sila Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh sistim pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut prasasti Brumbung (1329) dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat kerajaan seperti Rakryan I Hino, I Sirikan dan I Halu yang berarti memberikan nasehat kepada raja.

Sedangkan perwujudan sila keadilan sosial adalah sebagai wujud dari berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat kita fahami bahwa zaman Sriwijaya dan Majapahit adalah sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya.

c.   Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Sistem Penjajahan

Bangsa-bangsa Barat berlomba-lomba memperebutkan kemakmuran bumi Indonesia ini. Maka sejak itu mulailah lembaran hitam sejarah Indonesia dengan penjajahan Barat, khususnya Belanda. Masa pejajahan Belanda itu dijadikan tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya, sebab pada zaman penjajahan ini apa yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia pada zaman Sriwijaya dan Majapahit menjadi hilang. Kedaulatan negara hilang, persatuan dihancurkan, kemakmuran lenyap, wilayah dinjak-injak oleh penjajah.

Kita mengenal nama-nama Pahlawan Bangsa yang berjuang dengan gigih melawan penjajah. Pada abad ke XVII dan XVIII perlawanan terhadap penjajah digerakkan oleh pahlawan Sultan Agung(Mataram 1645), Sultan Ageng Tirta Yasa dan Ki Tapa (Banten 1650), Hasanuddin Makasar1660), Iskandar Muda Aceh 1635) Untung Surapati dan Trunojoyo (Jawa Timur 1670), Ibnu Iskandar (Minangkabau 1680) dan lain-lain.

Pada Hakikatnya perlawanan terhadap Belanda itu terjadi hampir setiap daerah di Indonesia. Akan tetapi perlawanan-perlawanan secara fisik terjadi secara sendiri-sendiri di setiap daerah. Tidak adanya persatuan serta koordinasi dalam melakukan perlawanan sehingga tidak berhasilnya bangsa Indonesia mengusir kolonialis, sebaliknya semakin memperkukuh kedudukan penjajah. Hal ini membuktikan betapa pentingnya rasa persatuan (nasionalisme) dalam menghadapi penjajahan.

Pada permulaan abad ke XX bangsa Indonesia mengubah cara-caranya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Kegagalan perlawanan secara fisik yang tidak adanya kordinasi pada masa lalu mendorong pemimpin-pemimpin Indonesia abad ke XX itu untuk merubah bentuk perlawanan yang lain. Bentuk perlawanan itu ialah dengan membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya bernegara. Usaha-usaha yang dilakukan adalah mendirikan berbagai macam organisasi politik di samping organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial. Organisai sebagai pelopor pertama adalah Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Mereka yang tergabung dalam organisasi itu memulai merintis jalan baru ke arah tercapainya cita-cita perjuangan bangsa Indonesia., tokohnya yang terkenal adalah dr. Wahidin Sudirohusodo. Kemudian bermunculan organisasi pergerakan lain, yaitu Sarikat Dagang Islam (1909), kemudian berubah bentuknya menjadi pergerakan politik dengan menganti nama menjadi Sarikat Islam (1911) di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto.

Pada tanggal 28 Oktober 1928 terjadilah penonjolan peristiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia mencapai cita-citanya. Pemuda-pemuda Indonesia yang di pelopori oleh Muh. Yamin, Kuncoro Purbopranoto dan lain-lain mengumandangkan Sumpah Pemuda yang berisi pengakuan akan adanya Bangsa, tanah air dan bahasa satu yaitu Indonesia. Melalui sumpah pemuda ini makin tegaslah apa yang diinginkan oleh Bangsa Indonesia, yaitu kemerdekaan tanah air dan bangsa itu diperlukan adanya persatuan sebagai suatu bangsa yang merupakan syarat mutlak. Sebagai tali pengikat persatuan itu adalah Bahasa Indonesia.

Pada tanggal 8 Maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia menghalau penjajah Belanda, pada saat itu Jepang mengetahui keinginan bangsa Indonesia, yaitu Kemerdekaan Bangsa dan tanah air Indonesia. Peristiwa penyerahan Indonesia dari Belanda kepada Jepang terjadi di Kalijati Jawa Tengah tanggal 8 Maret 1942. Jepang mempropagandakan kehadirannya di Indonesia untuk membebaskan Indonesia dari cengkraman Belanda. Oleh sebab itu Jepang memperbolehkan pengibaran bendera merah putih serta menyanyikan lagu Indonesia raya. Akan tetapi hal itu merupakan tipu muslihat agar rakyat Indonesia membantu Jepang untuk menghancurkan Belanda.

Kenyataan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia bahwa sesungguhnya Jepang tidak kurang kejamnya dengan penjajahan Belanda, bahkan pada zaman ini bangsa Indonesia mengalami penderitaan dan penindasan yang sampai kepada puncaknya. Kemerdekaan tanah air dan bangsa Indonesia yang didambakan tak pernah menunjukkan tanda-tanda kedatangannya, bahkan terasa semakin menjauh bersamaan dengan semakin mengganasnya bala tentara Jepang. Kekecewaan rakyat Indonesia akibat perlakuan Jepang itu menimbulkan perlawanan-perlawanan terhadap Jepang baik secara illegal maupun secara legal, seperti pemberontakan PETA di Blitar.

B.  PANCASILA ERA KEMERDEKAAN

1.     Pancasila Era Orde Lama

Terdapat dua pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap munculnya Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi anjuran Presiden/ Pemerintah untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya menyetujui kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 tanpa cadangan, artinya dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan sidang konstituante. Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli 1959 dan diumumkan secara resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka. Dekrit Presiden tersebut berisi :

a.     Pembubaran konstituante

b.     Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku

c.     Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Kelompok yang berseberangan paham dengan Presiden memilih taktik “gerilya” di dalam kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan agenda yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar kekuatan politik baik itu PKI maunpun yang anti komunisme. Walaupun kepentingan politik mereka berbeda, kedua arus tersebut sama-sama menggunakan Pancasila sebagai justifikasi. Ir. Soekarno menghendaki persatuan di antara beragam golongan dan ideologi termasuk komunis, di bawah satu payung besar bernama Pancasila, sementara golongan anti komunis mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih murni dengan menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme). Dengan adanya pertentangan yang sangat kuat ditambah carut marutnya perpolitikan saat itu, maka Ir. Soekarno pun dilengserkan sebagai Presiden Indonesia, melalui sidang MPRS

2.     Pancasila Era Orde Baru

Pancasila dibangunkan dari tidur panjangnya ketika Indonesia mengalami berbagai pergolakan politik ketika Soeharto berhasil mengambil alih kekuasaan pasca tahun 1965. Pengalaman instabilitas politik dan kemorosotan ekonomi menjadi dalih bagi Soeharto untuk memulihkan pasca gejolak politik menggunakan Pancasila basis legitimasi penggunaan kekuasaan. Soeharto menggunakan istilah Demokrasi Pancasila untuk memperoleh kesan kuat, bahwa dirinya adalah seorang yang memegah teguh Pancasila. Namun dalam praktek penggunaan kekuasaannya, Pancasila sekedar menjadi teks tertulis yang mati dan melahirkan jurang pemisah antara teks dan kenyataan. Sila-sila Pancasila hanya menjadi alat indoktrinasi atau propaganda untuk memberi efek takut bagi para penentang kebijakan pembangunan yang dilakukan.

Pancasila menjadi kedok penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Baru. Tameng legitimasi bagi berbagai hal untuk melaksanakan pembangunan, menghasilkan keserakahan dan aneka pelanggaran yang menjauh dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Meski stabilitas politik tercapai dan pembangunan ekonomi dapat teraih, namun kebebasan dan hak-hak warga negara yang diatur dalam konstitusi dilaksanakan berdasarkan tafsir sepihak hanya untuk memuaskan dahaga kekuasaan dan melanggengkannya. Kebebasan dibatasi dan melahirkan tekanan politik bagi aktivis demokrasi yang menghendaki partisipasi politik dalam proses pembangunan. Dimana pembangunan dilakukan dengan melanggar HAM warga negara, dan negara bergeming untuk mempertimbangkan manusia/warga negara yang menjadi korban pembangunan yang diatasnamakan dengan Pancasila.

Gugatan terhadap pelaksanaan Pancasila versi Orba mengalami puncaknya pada Mei 1998. Dipicu oleh krisis ekonomi, gerakan mahasiswa dan kekuatan anti Soeharto memaksa lengser keprabon dan menyerahkan kursi kepresiden kepada wakilnya. Pelanggaran HAM dan keterbatasan partisipasi politik yang berkelindan dengan krisis moneter melahirkan semangat perjuangan anti Soeharto yang memerintah tidak dengan demokratis. Kebebasan (politik) yang diperjuangkan dan berhasil pada tahun 1998 harus mampu menyuburkan internalisasi dan aktulaisasi nilai-nilai Pancasila. Membuka kembali ruang diskursus untuk mendalami semua gagasan yang terkandung dalam Pancasila, dan meletakkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

3.     Pancasila Era Reformasi

Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie. Pengunduran diri ini ialah dampak dari ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu yang juga disusul dengan krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah. Ketidakpuasan masyarakat ini dituangkan melalui demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh berbagai organisasi aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.

Tragedi Trisakti adalah salah satu tragedi puncak jatuhnya rezim Soeharto. Tragedi Trisakti yang meletus pada tanggal 12 Mei 1998 memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar baik dari dalam maupun dari luar negeri, akhirnya kekuasaan Soeharto dapat ditumbangkan, ia akhirnya memilih mengundurkan diri dari kursi kekuasaan yang telah didudukinya selama 32 tahun.

Keberadaan Pancasila dalam kehidupan politik yang banyak mengalami perubahan konstitusional dan rezim kekuasaan (1945 – 1978) Pancasila selalu dipertahankan. Hal demikian memperlihatkan Pancasila mengandung kenyataan yang hidup dan tumbuh dalam sanubari orang per orang dalam masyarakat, sehingga Pancasila selalu dipertahankan oleh rakyat Indonesia yang mendukung tiap-tiap negara nasional yang lahir di atas bumi tumpah darah Indonesia. Dengan Pancasila rakyat Indonesia telah bersatu dalam revolusi dan dalam perjuangan sejak hari proklamasi. Pancasila merupakan kristalisasi daripada intisari perjuangan kemerdekaan nasional di abad ke-20.

Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya sudah umum kita ketahui, karena rezim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.

Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian bangsa ini, Pancasila harus tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap menjadi dasar dari penuntasan persoalan kebangsaan yang kompleks seperti globalisasi yang selalu mendikte, krisis ekonomi yang belum terlihat penyelesaiannya, dinamika politik lokal yang berpotensi disintegrasi, dan segregasi sosial dan konflik komunalisme yang masih rawan. Kelihatannya, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan bangsa Indonesia sejak dahulu. Sejarah merupakan deretan peristiwa yang saling berhubungan. Peristiwa-peristiwa masa lampau yang berhubungan dengan kejadian masa sekarang dan semuanya bermuara pada masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa semua aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan kehidupan masa sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan masa yang sebelumnya. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia berlalu dengan melewati suatu proses waktu yang sangat panjang. Dalam proses waktu yang panjang itu dapat dicatat kejadian-kejadian penting yang merupakan tonggak sejarah perjuangan.

Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian bangsa ini, Pancasila harus tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap menjadi dasar dari penuntasan persoalan kebangsaan yang kompleks seperti globalisasi yang selalu mendikte, krisis ekonomi yang belum terlihat penyelesaiannya, dinamika politik lokal yang berpotensi disintegrasi, dan segregasi sosial dan konflik komunalisme yang masih rawan.


DAFTAR PUSTAKA 

https://semuamakalahpembelajaran.blogspot.com/2017/06/makalah-pancasila-dan-kemerdekaan.html#

https://www.kompas.com/stori/read/2021/09/09/080000679/sejarah-lahirnya-pancasila-dasar-negara-indonesia?page=1

https://www.kompasiana.com/rafiq06/5d8dd22e0d823059d5552b43/pancasila-di-era-pra-kemerdekaan-dan-era-kemerdekaan

https://idoc.pub/documents/kajian-sejarah-pancasila-pada-era-pra-kemerdekaan-era-kemerdekaan-era-orde-lama-era-orde-baru-dan-era-revormasi-klzzd97wpelg







Terjemah Al-Qur'an : Sejarah, Pengertian, macam-macam dan syarat-syarat penerjemah



A. Sejarah Terjemah Al-Qur’an

        Penerjemahan Alquran secara lengkap pertama kali dilakukan pada 884 M di Alwar, Pakistan. Terjemahan Alquran tersebut dibuat atas perintah Khalifah Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz. Saat itu, penguasa Hindu Raja Mehruk memohon agar kitab suci umat Islam itu diterjemahkan. Selanjutnya pada tahun 1135 M Al-Qur’an mulai diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin untuk keperluan kepala Biara Clungny yang berkunjung ke Toledo pada abad ke-12 yang bertujuan untuk menandingi kegiatan intelektual keilmuan Islam yang berkembang pada saat itu, terutama di kota Andalus. Terjemahan ini dilakukan oleh Robert of Ketton dan selesai pada bulan Juli 1143. Salinan terjemahan tersebut hanya dimiliki oleh pihak gereja untuk dipelajari dan tidak diizinkan dicetak di luar gereja selama empat abad lamanya. Itu bertujuan agar umat Kristen tidak memiliki kesempatan mempelajari Alquran terjemahan sehingga tidak akan ada penganut Kristen yang murtad dari agamanya.

        Pada pertengahan abad ke-16, tepatnya pada tahun 1543 M terjemahan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Robert of Ketton mulai diterbitkan di Basle oleh seseorang yang berkebangsaan Swiss yaitu Theodor Bibliande. Dari terjemahan Al-Qur’an yang Bahasa Latin inilah, kemudian Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam berbagai Bahasa Eropa seperti Afrika, Persia, Turki, Urdu, Tamil, Benggali, Jepang dan berbagai Bahasa di kepulauan Timur. Indonesia juga tidak ketinggalan dalam menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Melayu sejak pertengahan abad ke-17. Upaya ini dilakukan oleh seorang ulama dari Singkil, Aceh bernama Abdul Ra'uf Fansuri. Meski terjemahannya kurang sempurna dari tinjauan ilmu bahasa Indonesia modern, Abdul Ra'uf Fansuri bisa dikatakan sebagai tokoh perintis penerjemahan Alquran berbahasa Indonesia. Sejak saat itu, semakin banyak Alquran terjemahan yang diterbitkan di Indonesia.

B. Pengertian Terjemah

        Kata terjemah ditinjau dari segi Bahasa (etimologi) adalah berasal dari Bahasa Arab yaitu tarjama yang memiliki arti menerangkan dan menafsirkan dengan Bahasa yang lain. Adapaun terjemah dari segi istilah (terminologi) adalah mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, tanpa menerangkan makna bahasa asal yang diterjemahkan.

        Adapun terjemah Al-Qur’an adalah memindahkan Al-Qur’an pada bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemahan tersebut ke dalam beberapa naskah agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak dapat berbahasa Arab sehingga ia bisa memahami maksud kitab Allah swt dengan perantara terjemah

C. Macam-Macam Terjemah

    Terjemah al-Qur’an terbgai menjadi 2 yaitu :

1. Terjemah Harfiyah atau Lafdiyah

Terjemah harfiyah, yaitu terjemah yang dilakukan dengan bergantung pada susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Al-Dzahabi dalam tafsir wal mufassirun membagi terjemah lafdiyah tersebut menjadi dua yaitu :

a. Terjemah harfiyah bi al-mitsl

Yaitu terjemah yang dilakukan apa adanya, terikat dengan susunan dan bahasa asal yang diterjemahkan

b. Terjemah harfiyah bigair al-mitsl

Yaitu terjemah yang pada dasarnya sama seperti terjemah yang pertama. Namun, terjemah bigair al-mitsl ini lebih longgar keterangannya daripada susunan dan struktur bahasanya

2. Terjemah Tafsiriyah atau Maknawiyah

    Terjemah tafsiriyah adalah terjemahan yang dilakukan oleh mutarajim (penerjemah) dengan lebih mengutamakan maksud atau isi yang terkandung dalam bahasa asal yang diterjemahkan Sehingga, dapat disimpulkan bahwa jika terjemah harfiyah adalah menerjemah suatu teks kebahasa yang lain dengan cara menitikberatkan dengan struktur Bahasa. Sedangkan terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawi sama persis dikatakan dengan istilah terjemah dengan terjemah bebas yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan dari yang diterjemahkan.

D. Perbedaan dan Persamaan antara Terjemah Tafsiriyah dan Tafsir

Terdapat beberapa perbedaan antara terjemah tafsiriyah dan tafsir, diantaranya yaitu :

1. Perbedaan Bahasa. Bahasa tafsir sering menggnakan Bahasa yang sama, sedangkan terjemah tafsiriyah menggunakan Bahasa yang berbeda.

2. Pembaca karya Tafsir bisa memperhatikan rangkaian dan susunan teks asli, sehingga dia bisa menemukan kesalah-kesalahan yang ada dan meluruskannya. Sedangkan pembaca erjemah Tafsiriyah tidak bisa menemukan kesalah-kesalahan dan meluruskannya, karena dia tidak mengetahui rangkain dan susunannya bahkan kesan yang ada bahwa apa yang di abaca adalah tafsir atau arti yang benar terhadap Al-Qur’an.

Adapun persamaan antara terjemah tafsiriyah dan tafsir adalah keduanya sama-sama bertujuan untuk menjelaskan. Terjemah tafsir menjelaskan menjelaskan makna dari Bahasa yang tidak

dipahami dengan menggunakan Bahasa lain, sedangkan tafsir menjelaskan sesuatu yang sulit dipahami menjadi mudah untuk dipahami.

E. Syarat-Syarat Penerjemah

    Seorang penerjemah Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat berikut :

1. Penerjemah haruslah seorang muslim, sehingga tanggung jawab keislamannya dapat dipercaya

2. Penerjemah haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya, seorang fasik tidak diperkenankan menerjemahkan Al-Quran

3. Menguasai bahasa sasaran dengan teknik penyusunan kata. Ia harus mampu menulis dalam bahasa sasaran dengan baik

4. Berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran Al-Quran dan memenuhi kriteria sebagai mufassir, karena penerjemah pada hakikatnya adalah seorang mufassir

5. Penerjemah harus menguasai dua Bahasa, yaitu bahasa asli (bahasa sumber) dan bahasa terjemahan

6. Menguasai gaya bahasa dan keistimewaan dari kedua bahasa tersebut

F. Hukum Terjemah Al-Qur’an

Dilihat dari pembagian terjemah baik terjemah harfiyah maupun terjemah tafsiriyah terdapat hukum yang berbeda yaitu :

1. Terjemah harfiyah. Hukum terjemah harfiyah ini tidaklah haram namun juga tidak diperbolehkan karena memang Al-Qur’an adalah mukjizat dari Allah SWT dengan lafal dan maknanya serta membacanya merupakan sebuah ibadah. Akan tetapi terjemah harfiyah sendiri sangat tidak mungkin terjadi karena Al-Qur’an diturunkan dengan tujuan untuk membenarkan Nabi Muhammad dengan risalah yang dibawanya, sehingga andaikan Manusia dan jin tidak bisa menandingi Bahasa Al-Qur’an. Tidak diperbolehkannya terjemah harfiyah ini karena ada beberapa faktor seperti :

a. Tidak boleh menulis Al-Qur'an dengan selain huruf-huruf bahasa Arab, hal ini dimaksudkan agar tidak menjadi penyalahgunaan dan perubahan arti

b. Meringkas lafal-lafal bahasa Arab akan memungkinkan kerusakan arti yang menyebabkan cacat dalam redaksi dan susunan

2. Terjemah tafsiriyah. Hukum terjemah tafsiriyah ini diperbolehkan dan tidak dilarang oleh para Ulama, bahkan diwajibkan kepada seluruh orang Islam agar mereka bisa menyampaikan dakwah Al-Qur’an, karena tanpa adanya terjemah semacam ini manusia tidak akan bisa mengetahui kebesaran syari'at, keindahan agama dan keelokan Al-Qur'an. Akan tetapi terjemahan semacam ini tidak boleh dinamakan Al-Qur'an tetapi dinamakan “Tafsir Al-Qur'an”. Sehingga hukum membacanya tidak termasuk ibadah

G. Metode Menterjemhkan Al-Qur’an

    Metode menterjemahkan Al-Qur’an tentunya berbeda dengan menterjemahkan teks biasa. Seorang penerjemah Al-Qur’an harus mengetahui tahapan-tahapannya yaitu :

1. Mengetahui huruf-huruf tambahan pada awal dan akhir kalimat seperti huruf nun pada jamak mudzakar salim atau alif dan ta pada jamak muannas salim

2. Mengetahui makna kata sambung seperti huruf ‘athaf, huruf jer, ‘amil nawasikh dan lain-lain. Untuk bisa mengetahui kata sambung tersebut, bisa kita lihat pada kitab-kitab nahwu

3. Harus mengetahui bentuk (sighat) kalimat, apakah fi’il madi, mudore’, amar dan lain sebagainnya

4. Mengetahui arti dasar (aslul wahid) kata pada setiap kalimat, sehingga ketika kata tersebut mengalami perubahan kitab bisa menyesuaikan maknanya.

H. Urgensi Terjemah Al-Qur’an dalam Pendidikan Agama Islam

    Al-Qur’an diterjemahkan dalam berbabagai Bahasa termasuk Bahasa Indonesia dengan tujuan agar umat islam yang tersebar ke seluruh penjuru dunia dapat memahami isi dan kandungan Al-Qur’an. Terjemah Al-Qur’an juga dapat membantu para penghafal Al-Qur’an dalam menghafal ayat-ayatnya serta memudahkan untuk memahami kandungan isi dalam Al-Qur’an. Selain itu terjemah Al-Qur’an juga dapat menambah kosa kata seorang muslim tentang Bahasa Arab dan memudahkan penceramah saat menjelaskan kandungan Al-Qur’an kepada audiens


Refrensi

https://www.republika.id/posts/32430/kilas-sejarah-terjemah-alquran

https://www.hakim-el.com/2022/06/pengertian-dan-macam-macam-terjemah-al.html

https://www.fatwapedia.com/2020/11/hukum-menterjemah-al-qur-dan-syarat.html

Pengertian Qir'at. Sejarah dan macam-macam qiro'at

 

A.  Pengertian Qiro’at

Secara etimologi qira’at merupakan bentuk (masdar) dari kata kerja qara’a (membaca). Sedangkan secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama antara lain.

1.   Menurut Al-Zarkasyi Qira’at adalah perbedaan cara-cara melafalkan Al-Qur’an, baik mengenai huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut seperti takhfif (meringankan), tasqil (memberatkan) atau yang lainnya.

2.   Menurut Ibnu al-Jazari Qira’at adalah ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbahkan kepada penukilnya

3.   Menurut Al-Shabuni Qiraat adalah suatu mazhab cara melafalkan Alqur’an yang dianut oleh salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw.

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa qira’at berkisar pada dua hal: pertama, qira’at berkaitan dengan cara melafalkan Al-Qur’an yang dilakukan oleh seorang imam dan berbeda dengan imam lainnya. Kedua, cara melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pada riwayat yang mutawatir dari Nabi saw

B.  Sejarah Ilmu Qiro’at

1.   Latar Belakang Secara Historis

Qira’at sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi saw., walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan suatu disiplin ilmu, karena perbedaan para sahabat melafazkan Al-Qur’an dapat ditanyakan langsung kepada Nabi saw., sedangkan Nabi tidak pernah menyalahkan para sahabat yang berbeda, sehingga tidak fanatik terhadap lafaz yang digunakan atau yang pernah didengar Nabi. Artinya pada masa Nabi lafal-lafal Al-Qur’an yang diucapkan oleh para sahabat berbeda-beda, akan tetapi Rasulullah dengan bijak tidak menyalahkan para sahabat dan memberi jawaban yang sama yaitu Al-Qur’an diturunkan tujuh huruf.

2.   Latar Belakang Cara Penyampaian

Setelah para sahabat tersebar diberbagai daerah, maka mereka membacakan qira’at Al-Qur’an kepada murid-muridnya secara turun temurun. Pada akhirnya murid-murid lebih suka mengemukakan qira’at gurunya dari pada mengikuti qira’at imam-imam yang lain. Hal ini mendorong beberapa ulama merangkum beberapa bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut :

a.   Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat

b.   Perubahan pada I’rab dan harakat, sehingga dapat merubah maknanya

c.   Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisan, sedang makna berubah

d.   Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisan, tapi makna tidak berubah

C.  Macam-Macam Qiro’at

1.     Segi Kuantitas

a.     Qira’at Sab’ah (qira’at tujuh) yaitu qira’at yang disandarkan kepada imam qira’at yang tujuh mereka adalah Abdullah al-Katsir al-Dari, Nafi’ bin Abdrrahmana bin Abi Naim, Abdullah al-Yasibi, Abu Amar, Ya’kub, Hamzah dan Ashim

b.     Qira’at Asyarah (qira’at sepuluh), yaitu qira’at tujuh ditambah tiga ahli qira’at yaitu Yazid bin al-Qa’qa al-Maksumi al-madani, Ya’kub bin Ishak dan Khallaf bin Hisyam

c.     Qira’at Arba’ah Asyarah (qira’at empat belas), yaitu qira’at sepuluh ditambah empat imam qira’at yaitu Hasan Basri, Muhammad bin Abdul Rahman, Yahya bin al-Mubarak dan Abu al-Farj Muhammad bin Ahmad asy-Syambusy.

2.     Segi Kualitas

a.     Qira’at mutawatir yaitu qira’at yang disampaikan oleh sekolompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad tidak mungkin sepakat untuk berdusta.maka sebagian ulama sepakat yang termasuk dalam kelompok ini adalah qira’ah sab’ah, qira’at asyarah, dan qira’at arba’ah asyarah.

b.     Qira’at masyhur yaitu, qira’at yang memiliki sanad yang shahih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, hanya sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan tulisan mushaf usmani.

c.     Qira’at ahad yaitu, qira’at yang memiliki sanad shahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf usmani dan kaedah bahasa Arab

d.     Qira’at syadz yaitu qira’at yang sanadnya tidak shahih

e.     Qira’at yang menyerupai hadis mudraj (sisipan) yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran

D.  Syarat-Syarat Sahnya Qiro’at

Para ulama menetapkan tiga syarat untuk mengetahui apakah qira’at itu benar atau tidak yaitu :

1.   Sesuai dengan kaidah bahasa Arab

2.   Sesuai dengan mushaf Usmani

3.   Sanad-sanadnya shahih

Apabila suatu qira’at tidak memenuhi salah satu diantara tiga syarat tersebut, maka qiraat tersebut tidak sah atau lemah.

E.  Pengaruh Qiro’ah Terhadap Istinbat Hukum

1.   Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbath hukum. Contoh firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 222.

Dalam ayat tersebut di atas terdapat perbedaan bacaan pada lafaz yathurna يطهرن  dengan bacaan takhfif yakni disukun huruf tho ( ط) dhamma huruf ha ( ها ) Hamz ah, al-Kissa’i dan ‘Ashim membacanya yaththaharna يطهرن bertasydid huruf tho ( ط dan ha ( ها ( serta menasab kedua huruf tesebut ( ط dan ها). Sedangkan , Ibn Kathir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir menurut riwayat Hafsah membacanya seperti yang tertulis dalam teks tersebut.

Perbedaan bacaan dari ayat di atas menimbulkan perbedaan hukum yang dikandungnya. Bacaan pertama dengan bacaan takhfif lafaz ( يطهرن ) bahwa seorang suami haram hukumnya untuk berhubungan intim dengan istrinya dalam keadaaan haid sampai berhenti haidnya dan mandi. Pandangan ini diperpegangi oleh Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad.

Bacaan kedua dengan tasydid lafaz ( يطهرن ), menurut Imam Abu Hanifah bahwa yang dimaksud dari ayat di atas adalah larangan kepada suami untuk berhubungan intim sampai istrinya suci, artinya berhenti darah haid. Dengan demikian, suami diperbolehkan untuk berhubungan intim dengan istrinya karena telah berhenti haid, meskipun belum mandi.

2.   Perbedaan qira’at yang tidak berpengaruh dalam istinbath hukum. Contoh firman Allah dalam QS. al-Ahzab/33: 49

Dalam ayat di atas terdapat perbedaan bacaan dari lafaz ) من قبل أن تمسوهن ). Jumhur membaca sesuai dengan teks. Sementara Hamzah dan al-Kisa’I membaca min qabli ‘an tumasahunna ) من قبل أن تماسهن ) dengan menambahkan huruf alif dan di dhammah huruf ta ).

Kata lain dalam ayat di atas adalah lafaz ( تعتدونها ) dengan mentasydidkan huruf dal. Jumhur membaca sesuai dengan teks. Sementara Ibnu Katsir, Hamzah, al-Kisa’i, Abu ‘Amer, Ibnu ‘Asim dan Nafi‘ membaca ta‘tadunaha تعتدونها) ) dengan mentakhfifkan huruf dal. Perbedaan qira’at tersebut tidak menimbulkan perbedaan dalam menetapkan hukum, yakni istri yang diceraikan oleh suaminya tidak ada ‘iddah baginya apabila belum digauli (disetebuhi) oleh suaminya yang harus disempurnaan bilangannya

Apakah Menyetubuhi hewan wajib mandi besar ?

Tanda-tanda akhir zaman salah satunya adalah banyaknya perbuatan zina yang terjadi, perbuatan semacam ini tidak hanya sesama manusia namun t...